Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #110

Berita Mengusik Damai

Renji menarik napas panjang, mata hijaunya menatap jauh ke hutan. “Berita. Dari Pontianak.”

​Senara seketika tegang. Berita dari Pontianak hampir selalu berarti buruk.

​“Jepang... sudah kalah, Nara-chan,” bisik Renji, suaranya nyaris tanpa volume. Ia tidak menggunakan kata Kapitulasi, melainkan bahasa yang dimengerti semua orang. “Tentara kulit putih sudah mulai mengambil alih kota-kota besar. Dan... ada perintah.”

​“Perintah apa?” Senara menggenggam erat tangan Renji.

​“Semua tentara Jepang, dari kamp Mandor, dari perbatasan, harus dikumpulkan di Pontianak untuk penyerahan diri secara resmi. Mereka akan segera ditarik pulang ke Jepang, atau... diserahkan kepada Sekutu.”

​Senara terdiam. Keheningan pondok terasa memekakkan. Ia tahu apa artinya ini. Pasukan akan bergerak, dan di antara pasukan itu, ada Souta.

​Renji menoleh, matanya dipenuhi kesedihan yang tak tertahankan.

​“Itu artinya… Souta Nii-san juga akan pergi. Sekarang, atau tidak sama sekali.”

Senara menelan ludah. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini.

​“Aku harus bertemu dengannya, Nara-chan,” bisik Renji. Ia menarik tangan Senara ke dadanya, menunjukkan betapa jantungnya berdebar kencang. “Aku harus melihatnya untuk yang terakhir kali. Aku ingin meminta maaf padanya karena menjadi seorang desertir. Jika dia pulang sekarang, mungkin… mungkin aku tidak akan punya kesempatan lagi untuk melihat kakakku seumur hidupku.”

​Senara memegang tangan Renji erat-erat. Ketakutan menjalar di dadanya.

​“Tapi… itu berbahaya, Renji,” bisik Senara, suaranya bergetar. “Sangat berbahaya. Mereka akan menangkapmu. Souta… dia mungkin terpaksa menyerahkanmu. Kau bisa dihukum mati.”

​Renji mengangguk pelan. Ia tahu konsekuensinya. “Aku tahu risikonya… tapi aku harus melakukannya sekali ini. Aku janji, akan berhati-hati. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal dan memastikan dia baik-baik saja.”

​Senara menutup mata. Berat. Sangat berat. Ia baru saja mendapatkan rumah dan suaminya, dan sekarang ia harus melepaskannya ke dalam bahaya terbesar, bahaya yang diwakilkan oleh darah daging Renji sendiri.

​“Renji…” bisiknya. Ia tidak tahu apakah harus memberi izin atau tidak.

​“Nara-chan… kalaupun aku mati di sana, kau harus tahu. Aku mati bukan karena perang, bukan karena Jepang. Tapi karena aku memilih untuk mencintaimu sampai akhir,” bisik Renji. Suaranya penuh keteguhan, sebuah janji terakhir yang sangat menyakitkan.

Lihat selengkapnya