Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #111

Generasi Terakhir Rikugun

Tanaka seketika menjatuhkan tempat sampah logistiknya. Ia berbalik dengan mata terbelalak, wajahnya pucat pasi. Ia melihat Renji. Pria Jepang dengan pakaian Melayu.

“Shōi… Shōi Takeyama?” desis Tanaka, suaranya tercekat antara terkejut dan ketakutan. “Anda… Anda masih hidup?”

Renji menelan napas, hatinya terasa seperti diremas. Masih ada yang memanggilnya “Shōi”—gelar yang dulu membuatnya bangga—tanpa ada rasa jijik karena ia menjadi desertir. Suara itu, panggilan itu, membawa kembali kenangan masa lalu. Masa ketika ia merasa berarti, dihargai, bukan pelarian atau pengkhianat.

Tapi ia tak punya waktu untuk basa-basi. Ia menarik Tanaka ke bayangan tumpukan karung, menahan bahunya erat-erat.

​“Dengar. Aku butuh bantuan. Ini bukan urusan militer,” bisik Renji, cepat dan tegas. “Ini urusan pribadi... keluarga.”

​Tanaka, yang loyalitasnya pada Renji lebih bersifat pribadi daripada militer, mengangguk cepat. Ia melihat tekad di mata Renji.

“Aku harus bertemu… dengan Chūsa Takeyama.”

Tanaka menelan ludah. Wajahnya berubah tegang sejenak, lalu perlahan-lahan memunculkan senyum hangat. Ia mengangguk, memahami kata-kata itu tanpa perlu pertanyaan tambahan. Rasa hormatnya kepada Renji mengalahkan takutnya terhadap risiko apapun.

“Shōi... aku mengerti,” gumam Tanaka, suaranya lembut namun penuh tegas.

​“Kau harus menyampaikan ini pada Chūsa Takeyama. Secara rahasia. Sekarang,” ujar Renji.

Renji mengeluarkan dari sakunya sebuah ukiran miniatur samurai, halus dan bernilai sentimental, diwariskan dari ayah mereka. Di tangan Renji, benda itu bergetar lembut.

“Dia akan mengerti. Jika kau tertangkap, kau tidak pernah melihatku.”

​Tanaka menelan ludah. Ia tahu risiko menyerahkan pesan kepada seorang perwira atas nama seorang desertir. Hukuman matilah taruhannya. Tapi ia tak ingin mundur sedikit pun. Ia sering bertugas memindahkan logistik ke gudang — rutinitasnya memberi celah yang ia gunakan untuk bergerak tanpa dicurigai.

”Aku mengerti,” jawabnya singkat, menatap mata Renji penuh pengertian. “Aku tahu satu tempat yang aman. Biarkan aku yang mengaturnya.”

Renji mengangguk, dada sesak oleh campuran rasa lega dan kesedihan. “Terima kasih, Tanaka-san. Jaga rahasiaku. Ini… penting.”

Tanaka membungkuk sekali, lalu menghilang ke bayang-bayang malam, membawa pesan dan ukiran itu ke tangan Souta.

Renji menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu perlahan-lahan melangkah menjauh dari gudang. Malam itu, ia meninggalkan jejaknya dalam diam, menyerahkan harapan terakhirnya melalui tangan Tanaka, sambil mempersiapkan diri menghadapi hari yang akan menentukan—pertemuan dengan kakaknya, yang mungkin menjadi perpisahan terakhir.

***

Malam itu, di sebuah bangunan kosong dekat pelabuhan—Renji berdiri di hadapan kakaknya. Udara lembap. Lampu gantung di atas kepala mereka berayun pelan, berkilau samar seperti nyala hidup yang hampir padam.

Renji membuka ransel. Satu per satu, ia keluarkan isinya: topi militer, lencana berpangkat, lambang matahari terbit, hingga sebilah katana yang sudah tak secerah dulu. Semuanya ia letakkan di atas meja kayu tua di antara mereka.

Souta hanya diam. Tatapannya dingin, tapi rahangnya mengeras menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.

“Apa maksudmu dengan semua ini?”

Renji menarik napas panjang.

“Aku tak akan kembali, Nii-san. Aku tak bisa menjalani hidup sebagai alat perang lagi.”

Souta memukul meja—keras, menggema di ruangan kosong.

Baka! Kau tahu artinya ini? Darah yang pernah menodai tangan kita tidak akan hilang hanya karena kau menyingkirkan pakaian yang kau kenakan saat itu, Renji!”

Suaranya turun perlahan, berat, dan nyaris pecah.

“Entah kau membakarnya, menguburnya, atau menyerahkannya padaku—masa lalu itu tetap di sana. Di balik kulit tanganmu. Di balik ingatanmu.”

Renji menunduk. Jemarinya mengepal, pelan tapi dalam.

“Aku tahu,” bisiknya. “Tapi… sejak aku melihat Nara-chan, dan semua yang dia lakukan untuk menyelamatkanku… aku sadar, aku tak bisa terus hidup hanya sebagai tentara. Di sisinya, aku jadi manusia. Bukan seragam.”

Lihat selengkapnya