Souta menunjuk lambang di meja.
“Simpan itu sebagai saksi. Bahwa kau pernah menjadi bagian dari masa paling gelap negeri kita. Tapi kau juga yang memilih untuk tak lagi menambah gelapnya.”
Souta menatap adiknya lama.
“Kita tak bisa melupakan darah yang pernah melumuri tangan kita, Renji. Tapi kita bisa belajar hidup tanpanya.”
Dan dengan itu, Souta berjalan pergi.
Meninggalkan Renji yang masih berdiri kaku, menatap simbol-simbol Rikugun miliknya dengan pandangan getir.
Tak ada jabat tangan.
Tak ada pelukan.
Hanya diam—yang terasa lebih berat dari perang apa pun yang pernah mereka hadapi.
Di luar, angin laut berhembus. Membawa pergi gema masa lalu — dan nama Takeyama yang dulu dikenalnya.
***
Langit pagi di tepian sungai Kapuas tampak seperti kain sutra kelabu yang terbakar di ujungnya.
Renji berjalan perlahan di jalan tanah yang mulai lembap oleh embun. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena tubuhnya yang lelah, tetapi juga karena sesuatu yang tak terlihat—sebuah kesadaran pahit yang perlahan meresap ke dalam dadanya.
Di bahunya, tas berisi lipatan seragam, tanda pangkat, dan Katana yang kini dibungkus kain tua. Semua itu rencananya akan ia serahkan pada Souta. Tapi kini, setelah mendengar dengan telinganya sendiri bahwa Rikugun telah dibubarkan, langkahnya gontai.
Tidak akan ada lagi barisan itu.
Tidak akan ada lagi pekik “Tennō Heika, Banzai!” menggema di udara.
Tidak akan ada lagi lagu yang dulu mereka nyanyikan dengan dada membusung dan mata menyala.
Ware wa kangun Waga teki wa
Tenchi irezaru chouteki zo
Teki no taishou taru mono wa
Kokon musou no eiyuu de
[ Kami adalah Tentara Kekaisaran
Musuh kami adalah musuh Kaisar, mereka yang tidak diterima oleh Langit dan Bumi
Sementara komandan dari musuh itu sendiri adalah pahlawan yang tak tertandingi dahulu maupun sekarang. ]
Nada itu muncul samar di kepalanya, lirih, seperti gema dari masa lampau yang jauh.