Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #113

Restu dan Pamit

Senara ikut berlutut, menyandarkan kepalanya ke bahu Renji.

Renji menatap bayi itu lama. “Kalau dia tahu ayahnya dulu membawa pedang, mungkin dia akan menatapku seperti orang asing.”

“Tidak,” jawab Senara cepat, suaranya lembut tapi pasti. “Dia akan tahu bahwa ayahnya adalah lelaki yang berani meletakkan pedangnya... demi hidup.”

Mata Renji basah. Ia menatap langit, melihat sinar matahari menembus dedaunan.

“Dulu aku pikir kehormatan hanya ada di medan perang,” katanya perlahan. “Tapi ternyata... kehormatan sejati adalah punya keberanian untuk berhenti berperang.”

Senara menatapnya, tersenyum. “Dan kau sudah melakukannya, Renji.”

​Mereka bertiga berpelukan di bawah cahaya fajar. Renji, yang tubuhnya masih berbau keringat dan hutan, Senara yang masih berbau kecemasan, dan Haruki yang berbau susu dan bayi.

​“Kau tidak mati karena perang,” bisik Senara, mengulang janji Renji padanya.

​Renji menggeleng, mencium kening putranya. “Aku hidup karena cinta. Aku memilih untuk hidup.”

​Renji menoleh ke Senara, matanya kini dipenuhi rencana untuk masa depan, bukan ketakutan akan masa lalu.

​“Mulai hari ini, aku bukan lagi Shōi Takeyama Renji,” kata Renji, menatap Katana yang tergeletak di rumput. “Aku adalah Rayyan Renji Takeyama. Suami dari Senara. Otou-san dari Haruki.”

Renji menyebut nama itu—Rayyan—dengan lidah dan hati yang ringan. Nama islami yang diberikan oleh Ustadz Rahman sesaat setelah ia mengucap syahadat. Nama itu terasa seperti air yang membersihkan seluruh luka yang pernah ia bawa.

​Senara tersenyum di tengah air matanya. Air mata yang paling manis yang pernah ia rasakan.

​“Selamat datang kembali, Rayyan.”

Renji menggenggam tangan Senara, menariknya perlahan ke arah teras.

Mereka duduk di tangga kayu itu, bertiga, menatap cahaya pagi yang mulai menyapu kabut.

Suara serangga dan burung bercampur menjadi nyanyian yang anehnya... terasa seperti lagu kemenangan.

Renji menyandarkan kepalanya di bahu Senara.

“Terima kasih karena menungguku,” katanya pelan.

Senara membelai rambutnya. “Aku tahu kau akan pulang. Hanya orang yang tersesat di medan perang yang tahu jalan menuju rumah.”

Renji menutup mata. Di dalam keheningan itu, ia merasa tenang untuk pertama kalinya.

Bukan karena perang telah berakhir, tapi karena akhirnya... ia tahu apa yang ingin ia lindungi.

Pagi itu, di tepian hutan Kalimantan, seorang bekas perwira Kekaisaran menatap dunia baru—dengan tangan kosong, tapi hati yang penuh.

Jauh dari suara perang, keluarga kecil itu meresmikan kehidupan mereka yang baru—dengan sebuah nama baru, pelukan, dan sebuah janji bunga yang akan segera ditanam.

Dan untuk sesaat, dunia terasa seimbang. Mereka tidak tahu badai besar sedang menunggu di balik cahaya pagi itu.

***

Lihat selengkapnya