Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #115

Kenangan Terakhir Bersama Sensei

Waktu terus berlalu.

Haruki tumbuh — mulai lincah berlari, memanggil nama ayahnya dan bicara dengan suara belum jelas. Pondok kecil itu kini lebih ramai, karena murid-murid Renji sering datang membawa bahan ukiran atau hasil panen untuk dibarter. Hidup sederhana tapi penuh arti.

Kehidupan perlahan kembali seperti biasa. Pondok itu kembali ramai — bukan oleh suara prajurit atau senjata, melainkan oleh tawa anak-anak muda yang datang belajar dari Renji. Ia mengajari mereka bertahan, bekerja, berpikir.

Yang dulu berlatih menembak, kini memahat, menulis, dan bercocok tanam. Renji mengubah bekas tempat persembunyiannya menjadi sekolah kecil kehidupan.

Hari itu, langit sore di tepi sungai berwarna jingga keemasan.

Suara bambu yang saling beradu berpadu dengan tawa para pemuda yang memenuhi halaman pondok.

Renji berdiri di tengah lapangan tanah, memperhatikan barisan murid-muridnya yang kini makin banyak — Lukas, Ero, Jau, Bawan, dan beberapa pemuda baru dari desa sekitar.

Mereka memegang tongkat kayu dengan semangat, meski gerakan mereka masih jauh dari sempurna.

“Luruskan kaki kalian! Jangan seperti burung bangau pincang!” seru Renji, setengah menahan tawa.

Suara tawa pecah di antara barisan, terutama dari Ero yang paling depan.

Pemuda itu malah berdiri di pose aneh, satu kaki menekuk, satu lagi terangkat tinggi seperti menirukan bangau sungguhan.

“Seperti ini, Sensei? Bangau yang sedang bimbang?”

“Ero!” bentak Renji, tapi suaranya mengandung tawa.

“Hai!” sahut Ero ceria sambil membungkuk terlalu dalam sampai hampir jatuh.

Lukas, yang berdiri di sebelahnya, langsung menepuk kepala Ero pelan.

​“Sampai kapan kau akan bercanda, Ro? Kapan kau akan serius berlatih?” tanya Renji, nada suaranya lembut. “Yang kau pelajari ini bukan untuk berkelahi, tapi untuk menjaga dirimu dan kampungmu.”

​Ero pura-pura memegang dadanya yang sakit. “Sensei! Aku bercanda biar Sensei tertawa dan tidak murung seperti dulu. Candaan aku seperti ini yang akan selalu membuat Sensei merindukan aku di manapun Sensei berada.”

Tawa murid lain pecah, Renji tersenyum tipis, merasa hangat dengan ketulusan muridnya itu.

Renji menghela napas panjang, tapi matanya lembut. “Kalau begitu, kau tak akan pernah serius selamanya.”

Ero terkekeh. “Berarti Sensei jangan pergi, biar aku bercanda tiap hari!”

Renji hanya menggeleng, tapi ada sesuatu di balik senyum itu — rasa hangat yang diselipkan dengan kesedihan yang belum diucapkan.

Ia tahu, suatu hari nanti kata-kata konyol itu akan jadi doa yang tak terjawab.

Setelah latihan usai, murid-murid mulai bubar perlahan. Beberapa duduk di pinggir sungai, sebagian membantu membereskan tongkat kayu dan alat ukir.

Renji duduk di teras pondok, kain lap di tangannya, mengelap bilah katana yang kini mulai menua bersama pemiliknya.

Lukas mendekat dengan langkah ragu.

Ia tak langsung bicara, hanya duduk di sisi Renji, memperhatikan pantulan cahaya sore di bilah katana yang sudah tak lagi sering digunakan itu.

Lihat selengkapnya