Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #116

Dendam yang Mengintai

Salim berdiri diam, setengah bersembunyi di antara kerumunan.

Matanya memicing saat melihat Renji menunduk lembut untuk memperbaiki posisi kain di bahu Senara.

Wajahnya menegang.

Seharusnya, dia yang berdiri di sana. Dia yang nyaris menikahi Senara saat gadis itu sudah kehilangan harapan karena hamil di luar nikah.

Tapi pernikahan itu tak pernah terjadi—dan kini, Senara tampak tersenyum pada pria asing yang dulu adalah musuh.

Salim mengepalkan tangan di balik bajunya. Nafasnya pendek, panas, bercampur dengan kebencian yang ia simpan bertahun-tahun.

Senara tiba-tiba merasa sesuatu menusuk punggungnya. Dingin. Bulu kuduknya berdiri.

Ia menoleh cepat, ke arah deretan kios sayur di belakang.

Kosong.

Tapi hatinya berdebar tak karuan.

​“Renji,” bisik Senara, memegang lengan suaminya. “Aku merasa tidak enak.”

​“Ada apa, Nara-chan?” Renji menoleh, tersenyum.

“Aku merasa... ada yang memperhatikan kita.” Senara menoleh lagi ke belakang, ke arah kerumunan di dekat lapak sayur. “Seperti seseorang yang kukenal, tapi aku tidak yakin.”

Renji mencoba menepis rasa gelisah yang mulai merayap dari nada istrinya.

“Mungkin hanya perasaanmu, Nara-chan. Pasar ini penuh orang. Tidak ada yang peduli pada kita.”

“Tapi...”

Renji menyentuh punggung tangannya, menenangkan. “Kita pulang setelah ini, ya?”

Senara mengangguk, meski pikirannya masih gelisah.

Ia sempat menoleh sekali lagi, dan entah mengapa, bayangan seseorang bergerak cepat di antara kerumunan, menghilang di balik kios beras.

Ia tidak tahu, bahwa yang bersembunyi itu bukan sekadar pengamat.

Salim berdiri di balik tirai goni, napasnya berat, matanya menatap kepergian mereka tanpa berkedip.

Haruki tertawa di gendongan ayahnya, suaranya jernih, ceria.

Salim merasakan sesuatu terbakar di dadanya — campuran iri, dendam, dan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Kebahagiaan itu, yang seharusnya menjadi miliknya, kini dipegang oleh pria Jepang yang pernah menjadi perwira.

​Cemburu dan dendam itu lebih mematikan daripada peluru.

​Salim tidak mendekat. Dia tidak bodoh untuk konfrontasi. Dia hanya mengikuti Renji dan Senara secara diam-diam. Melalui jalan pintas dan bayangan, Salim berhasil memastikan lokasi pondok terpencil mereka di tepi hutan.

​Ketika Renji dan Senara menghilang ke dalam pintu pondok, tawa Haruki masih terdengar samar. Salim berdiri sendiri di luar hutan, menatap atap jerami itu. Wajahnya dipenuhi kebencian, tangannya mengepal erat, membiarkan kukunya melukai telapak tangannya.

“Jadi begini hidupmu sekarang, Nara...” gumamnya getir. “Dengan orang Jepang itu…”

Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan bergetar. Tapi tatapannya keras ketika mendongak lagi.

Lihat selengkapnya