Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #117

Pertarungan Terakhir Melawan Takdir

Renji tersenyum, mengerti. Dengan gerak hati-hati, mereka berdua merangkak turun dari ranjang, seperti mata-mata di malam hari. Renji memimpin, menarik Senara ke sudut yang lebih tersembunyi. Suara tawa geli Senara tertahan saat kakinya tersandung selimut. Renji sigap menahan, mendekapnya erat.

​“Misi ini lebih sulit dari melarikan diri di markas musuh,” bisik Renji di telinganya, napasnya hangat di kulit Senara.

​Senara terkikik, lalu membalas ciuman Renji dengan berani, seolah ingin menebus waktu yang hilang. Tangan Renji bergerak cepat, menariknya lebih dekat, sementara Senara melingkarkan kakinya di pinggang Renji, menemukan pegangan yang kuat.

​Mereka menempel di dinding, tubuh mereka beradu dalam keheningan yang tegang, namun penuh hasrat yang membara. Renji menciumi leher Senara, dan Senara mendesah lirih. Gerakan mereka cepat, penuh desakan, menantang waktu dan potensi gangguan. Ada sentuhan-sentuhan berani yang tersembunyi dalam bayangan, bisikan-bisikan yang nyaris tak terdengar.

​Tiba-tiba, suara batuk kecil terdengar dari ranjang. “Kaa-san...”

​Renji dan Senara langsung membeku lagi. Mereka saling pandang, menahan napas, menahan tawa. Renji mencium bibir Senara singkat, cepat, seolah mencuri momen.

​“Lanjutkan di dapur?” bisik Senara, matanya berbinar nakal, tantangan baru.

​Renji hanya tersenyum tipis, sebuah janji terselip di balik sorot matanya. Dengan gerakan hati-hati, mereka kembali ke ranjang, pura-pura tertidur. Namun, di bawah selimut, tangan mereka saling menggenggam erat, janji gairah yang belum usai.

​Beberapa menit kemudian, setelah memastikan si kecil benar-benar terlelap, Renji dan Senara menyelinap keluar kamar.

​Mereka tidak butuh ranjang atau kegelapan sempurna. Hasrat mereka bisa menyala di mana saja—di sudut ruang depan, di sela-sela tumpukan kayu bakar di dapur, atau hanya dalam bisikan singkat di siang bolong. Malam itu, mereka menemukan kembali kebersamaan mereka dalam tawa, dalam kejar-kejaran lucu, dan dalam sentuhan-sentuhan rahasia.

​Mereka tidak tahu kalau itu adalah pertarungan terakhir mereka melawan takdir.

​Renji memeluk Senara di atas tikar dapur, merasakan detak jantung istrinya. Ia menciumi puncak kepala Senara, menghirup aroma rambutnya dalam-dalam.

​“Aku mencintaimu, Nara-chan,” bisiknya, suaranya dipenuhi ketulusan.

​“Aku juga mencintaimu, Renji,” jawab Senara, matanya terpejam.

Hening sejenak. Lalu jemari Senara meluncur lembut di rahang Renji.

“Kau tahu... setiap kali kau pulang terlambat,” katanya lirih, “aku selalu takut.”

Renji mengusap rambutnya pelan, menatap wajah istrinya yang setengah tertutup bayangan. “Aku selalu pulang, ‘kan?”

Senara mengangguk kecil, mencoba tersenyum. “Tapi suatu hari nanti, kalau aku terbangun dan kau tak di sini…”

“Jangan lanjutkan,” potong Renji lembut, jari telunjuknya menyentuh bibir Senara. “Kita punya malam ini, Nara-chan. Itu sudah cukup.”

“Aku hanya takut... ada hari di mana kau benar-benar tak bisa kembali. Aku—“

“Kalaupun hari itu memang ada,” potong Renji, “kau harus percaya kalau jiwaku akan selalu ada di sampingmu, Nara-chan. Jarak boleh memisahkan raga kita, tapi tak akan kubiarkan apa pun menjauhkan hatiku darimu. Dan... kalau memang benar aku harus jauh darimu, maka mungkin hidupku tak akan bertahan lama. Jadi... berhentilah memikirkan hal-hal yang membuatmu takut.”

Mereka berdiam lama. Di luar, jangkrik bernyanyi bersahutan dengan suara sungai di kejauhan. Dunia terasa damai, seperti tak pernah mengenal perang.

Lihat selengkapnya