Renji merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia membeku. Lukas menunggu penjelasan atau kemarahan, tetapi Renji hanya diam, menatap lantai semen.
“Ke mana mereka pergi?”
“Aku tidak tahu…” Lukas menunduk, suaranya semakin kecil. “Mungkin Kak Senara takut pada Sekutu. Atau… mungkin dia…”
Lukas tidak membiarkan kalimat itu selesai.
Renji menggeleng pelan, menatap lantai dengan pandangan yang kabur.
“Mungkin dia tidak ingin melihatku lagi.”
Lukas menatap wajah gurunya yang dulu kuat dan tegas. Kini, yang tersisa hanyalah seorang lelaki yang patah hati — bukan oleh perang, tapi oleh kehilangan.
Inilah akhirnya, pikir Renji. Dia meninggalkanku. Dia memilih kehidupan yang baru. Dia tidak akan pernah memaafkan pembunuh saudaranya.
Rasa sakit itu, ditinggalkan oleh satu-satunya cahaya dalam hidupnya, lebih tajam daripada tebasan Katana. Ia pasrah dengan nasibnya.
Namun, ia masih mencintai. Renji merogoh saku kemejanya.
“Lukas… Aku butuh kertas dan pena. Aku akan membayar kalian apa pun yang kalian minta.”
Lukas mengangguk, mengerti. Ia berjanji akan membawakannya.
***
Hari-hari berikutnya diisi dengan rutinitas menulis. Dengan kertas dan pena yang Lukas selundupkan, Renji menulis lusinan surat. Bukan surat untuk dibaca oleh Sekutu, tetapi untuk dirinya sendiri—surat pengakuan, penyesalan, dan cinta yang hanya ia harap suatu hari nanti, entah bagaimana, akan sampai ke tangan Senara.
Tulisan Renji goyah, tintanya sering luntur karena air mata yang jatuh. Ia menulis hingga jarinya lecet, hingga lampu minyak di luar sel padam.
Ia menulis surat cinta untuk istrinya.
“Nara-chan.
Jika surat ini entah bagaimana bisa sampai padamu. Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu.
Aku mencintaimu bukan sebagai pengganti siapa pun, bukan sebagai pelarian dari masa lalu. Tapi karena kau satu-satunya yang membuat aku ingin hidup dengan nama yang bukan lagi milik seorang algojo.
Aku tahu kau pergi karena aku telah berbohong, dan aku telah membunuh saudaramu. Aku pantas menerima kebencianmu.
Aku hanya berharap kau tahu, bahwa dalam hidupku yang singkat ini, semua cuma berisi penyesalan. Hanya ada satu hal yang tak pernah kusesali—bertemu denganmu.
Bisa mengenalmu dan pernah dicintai olehmu adalah satu-satunya hal yang paling benar dan paling berharga dalam hidupku. Aku tidak menyesali apa pun yang aku lakukan dan aku lewati bersamamu. Itu adalah waktu penebusan dalam hidupku yang penuh dosa ini.
Aku tahu aku tak pantas untuk berharap, apalagi meminta. Tapi di akhir waktuku ini... aku hanya ingin bisa melihat wajahmu sekali lagi. Aku hanya ingin membalas tawa Haruki.