Renji menggeleng, suaranya pecah.
“Kalau aku pergi... tak ada bedanya dengan mati dieksekusi, Nii-san.”
Souta menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat.
“Kalau kau tetap tinggal, mereka yang akan mati perlahan, Renji.”
Kata-kata itu menancap seperti pisau.
Renji terdiam. Di matanya, terpantul cahaya lampu mobil yang bergetar di jalan berlumpur.
Souta melanjutkan dengan suara yang nyaris pelan.
“Dunia pascaperang bukan tempat yang aman, Renji. Hari ini mereka memuja pahlawan, besok mereka menggantungnya di tiang pancang. Kalau kekuasaan berganti, namamu akan diburu ulang.”
Renji menggeleng, giginya gemeretak menahan luapan emosi.
“Lalu apa yang kau mau aku lakukan? Bersembunyi seumur hidup?”
Souta menjawab tanpa menoleh. “Tidak bersembunyi. Tapi menghilang.”
Hening sebentar, suara Souta merendah. “Selamanya.”
Renji mengepalkan tangan.
“...Kau ingin aku menghapus diriku dari sejarah?”
Souta menatap lurus mata adiknya.
“Itu satu-satunya cara menjaga agar nama Takeyama Renji tidak jadi buruan ketika politik berubah arah.”
Ia menarik napas dalam, matanya menatap lurus ke jalan yang gelap.
“Dan satu hal lagi—dunia ini tidak butuh bukti kalau pernah ada cinta antara penjajah dan warga lokal. Mereka akan menghancurkannya sebelum sempat disebut.”
Renji mendengus kesal. “Cinta bukan kejahatan.”
“Bukan bagi kita. Tapi bagi mereka? Itu noda. Kau tahu apa yang akan mereka lakukan kalau tahu Senara mencintai seorang tentara Jepang? Mereka akan menyalibnya di mata rakyatnya sendiri.”
Kesunyian menggantung.
Renji menghela napas. “...Aku tak peduli. Aku hanya ingin bersama mereka. Aku bisa melindungi Nara-chan dan Haruki.”
“Dengan apa? Dengan tangan kosong di negeri yang membencimu?”