Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #122

Perjuangan Senara

Setelah mandi, Renji mengenakan kemeja bersih yang Senara siapkan. Ia duduk di atas tikar, mengikuti isyarat Senara.

​Senara membawa gunting dan pisau cukur.

“Duduk diam,” katanya lembut.

Renji menatapnya bingung.

“Aku ingin melihatmu... bukan seperti tawanan perang,” Senara menunduk. “Tapi seperti dulu.”

Dia sedih melihat keadaan Renji. Rambut Renji panjang dan berantakan, jambang tumbuh tak terurus, pipinya cekung—sosok Rayyan yang lembut telah dikikis oleh penjara.

​Senara mulai memotong rambut Renji perlahan, dengan gerakan yang hati-hati dan penuh kasih. Potongan demi potongan jatuh ke lantai, menimbulkan suara kecil—terasa seperti detik jam yang menandai waktu tersisa bagi mereka.

Renji menutup mata. Setiap helai rambut yang jatuh terasa seperti serpih waktu yang tak akan kembali.

Senara bekerja dalam diam, jarinya sesekali menyentuh kulit kepala Renji—hangat, lembut, gemetar.

Ketika akhirnya ia mulai mencukur janggut tipis yang memenuhi wajah Renji, tangannya tak lagi stabil. Air matanya jatuh mengenai kulit Renji.

Renji membuka mata, melihatnya menunduk dalam diam.

“Jangan menangis,” bisiknya lirih.

Senara tidak menanggapi, hanya tersenyum getir, seolah ingin berkata, ‘Kalau tidak malam ini, kapan lagi aku boleh menangis untukmu?’

Sunyi kembali menyelimuti. Senara melanjutkan memotong kumis, matanya memandang bayangan Renji di dinding.

​Renji memecah keheningan. “Aku… tidak menyangka akan melihatmu lagi, Nara-chan.”

​Senara diam, tangannya berhenti sejenak.

“Waktu di penjara,” lanjut Renji, “aku menunggu. Setiap hari. Aku pikir... kau membenciku. Kau pergi dari pondok karena kau tahu aku yang membunuh Muzaffar. Aku pikir… kau meninggalkanku.”

Ia menatap Senara, suaranya serak, “Aku... menyesal, Nara-chan.”

Senara menarik napas dalam-dalam.

Tangannya berhenti di atas meja, menggenggam kain yang sudah lembab.

“Aku memang marah... dan kecewa, Renji,” katanya akhirnya, lirih tapi tegas. “Tapi aku tak bisa membencimu... apalagi berniat meninggalkanmu.”

​Renji menelan ludah, tapi ada rasa lega di dadanya. “Nara-chan, soal Muzaffar—“

“Aku tahu,” potong Senara. Tatapannya melekat pada wajah Renji. “Aku sudah berpikir lama. Dan aku bisa mengerti...”

Senara menunduk, meremas pencukur di tangannya.

“Kau pasti terpaksa melakukannya. Mungkin, saat itu... kau berada di bawah tekanan, dan tak punya pilihan lain.”

Kali ini ia mengangkat wajah, menatap mata Renji yang merah.

“Sejak pertama kali mengenalmu, aku tahu kalau kau hanya seorang tentara yang terjebak dalam perang. Semua yang pernah kau lakukan... tidak pernah sejalan dengan hati nuranimu. Aku tak percaya sepenuhnya ucapan Salim. Kau memang membunuh Bang Zaffar... tapi aku yakin tidak dengan wajah kosong dan tanpa rasa bersalah.”

Renji menunduk, membuang napas lega. “Terima kasih... Nara-chan. Aku memang terpaksa melakukannya. Karena kalau aku bersikeras menyelamatkan Muzaffar saat itu... aku tak akan bisa menyusulmu. Aku... sudah berjanji pada Muzaffar, akan menggantikannya untuk menjagamu.”

Lihat selengkapnya