Tiga minggu.
Selama tiga minggu itu, Senara hidup dalam penantian yang panjang dan senyap. Ia tidak tahu apakah Souta benar-benar akan datang. Setiap kali mendengar suara kendaraan lewat, hatinya melonjak, hanya untuk jatuh kembali dalam kekecewaan.
Tapi ia tidak menyerah. Ia berdoa setiap malam, memohon agar Renji masih hidup. Masih sempat diselamatkan.
Hingga suatu pagi, ketika kabut belum sepenuhnya mengangkat dari hutan, tiga sosok muncul di jalan tanah menuju rumah itu.
Souta berjalan paling depan, mengenakan pakaian sipil abu-abu. Di belakangnya dua orang asing—satu di antaranya memanggul tas besar berisi dokumen.
Senara hampir tidak percaya ketika melihat sosok itu kembali menapaki tanah Kalimantan. Wajahnya sama dinginnya seperti dulu, tapi di matanya ada sesuatu yang berbeda — kelelahan, dan sebuah tekad yang kuat.
“Senara-san,” katanya begitu sampai di depan pintu, suaranya dalam dan tenang. “Aku sudah dengar semuanya. Sekarang, kau tenanglah. Aku akan urus sisanya.”
Mendengar itu, Senara baru bisa merasakan napas lega dan harapan yang kembali hidup.
Ingatan itu perlahan mengabur, kembali pada malam sunyi di rumah kecil yang hanya diterangi lampu minyak.
Renji menatap Senara dengan mata yang berkaca-kaca, penuh kehangatan, tetapi juga penuh rasa sakit karena ia sudah berprasangka buruk pada istrinya.
Nafasnya tercekat, seolah paru-parunya enggan menerima udara.
“Nara-chan… kau… kau melakukan semua itu sendirian?” suaranya nyaris berbisik.
Senara menatapnya. “Aku tidak punya pilihan, Renji. Aku tidak bisa kehilangan kau juga. Aku tahu itu adalah satu-satunya kesempatanmu.”
“Tapi kenapa kau tidak bilang padaku?” Suara Renji meninggi. “Kenapa kau biarkan aku berpikir kau meninggalkanku? Kau tahu betapa sakitnya aku saat Lukas bilang kau pergi?”
Air mata Senara akhirnya tumpah. Ia memeluk kepala Renji, menyandarkannya di dadanya.
“Maafkan aku, Renji. Aku tidak bisa mengunjungimu. Kakakmu bilang, jika aku datang, Sekutu akan mencurigai adanya aliansi, dan itu akan membahayakan negosiasinya.”
Renji diam. Ia akhirnya mengerti semua yang terjadi.
Senara melanjutkan, suaranya serak. “Aku harus pergi. Aku harus menghilang dari pondok, agar kau berpikir aku sudah meninggalkanmu. Itu yang aku butuhkan, Renji… Kebencianmu sedikit, agar aku bisa kuat untuk melepaskanmu sekarang.”
Renji menunduk, matanya memanas, suaranya pecah.
“Nara-chan… bagaimana aku bisa menebus semua ini… setelah semua yang kau korbankan?”
Senara tersenyum samar, matanya berkaca-kaca. “Kau tidak perlu menebus apa pun. Kau hanya perlu hidup.”
Renji menatapnya lama—dan untuk pertama kalinya malam itu, matanya penuh cahaya. Bukan karena harapan, tapi karena cinta yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Senara menyingkirkan gunting dan pisau cukur. Wajah Renji kini bersih, kembali menampilkan ketampanan yang pernah mencuri hati Senara di tengah hutan. Sayangnya, ketampanan itu kini berbingkai penderitaan.
Ia bangkit perlahan dari duduk. Langkahnya terdengar pelan, nyaris tak terdengar, menuju dapur kecil di belakang. Bau kayu terbakar samar-samar menyelinap ke udara, menyatu dengan aroma nasi hangat yang mengepul dari periuk.
Renji hanya bisa menatap punggung istrinya dari kejauhan — punggung yang dulu selalu ia lihat saat pagi, ketika Senara menjemur pakaian di halaman, sebelum semua direnggut oleh penjara.