Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #124

Yang Tak Bisa Dibawa Pulang

Renji membeku. Tangannya gemetar di atas perut hangat istrinya. Ia memandang Senara lama, seolah baru sadar arti sebenarnya dari setiap kata Souta di mobil tadi — tentang keluarga, tentang alasan untuk tetap hidup.

​Air matanya mengalir. Badannya bergetar kuat. Ia tidak hanya terkejut—ia hancur. Cinta mereka telah menciptakan dua alasan kuat untuknya hidup, dan dua alasan kuat untuknya pergi.

​Senara mendekat, memeluk kepala Renji yang tertunduk.

​“Aku tidak tahu… syarat yang diberikan Souta untuk menyelamatkanmu ternyata adalah perpisahan selamanya,” bisik Senara, air matanya menetes ke rambut Renji. “Tapi aku terpaksa menerima. Karena aku tidak mau... suamiku... mati dieksekusi di tanahku sendiri.”

Renji menunduk, air matanya jatuh ke pangkuan.

“Aku tak sanggup melihat jasadmu dikubur di sini,” lanjut Senara, suaranya tercekat. “Lalu hidup berdampingan dengan makammu. Biarkan aku menguburkanmu… dalam cerita, bukan dalam tanah.”

​Senara melepaskan pelukannya, menatap Renji dengan mata yang berair tetapi penuh tekad, menangkup wajahnya.

​“Jangan kau pikir aku membiarkanmu pergi dengan mudah. Kau tahu rasanya, Renji? Sakitnya seperti aku melepaskan nyawaku sendiri.”

​Renji menangis tanpa suara. Ia menatap wajah istrinya yang basah air mata, wajah yang menjadi rumahnya di tengah perang.

“Kau… Kau menyakitiku, Nara-chan. Kalau aku pergi, mungkin aku tak mati di sini. Tapi kau tahu kalau… aku hidup hanya untukmu. Sekarang kau menyuruhku menjauh darimu… Kau pikir aku bisa bertahan? Itu sama saja kau seperti membunuhku dengan tanganmu sendiri, membiarkanku untuk mati pelan-pelan.”

​Senara mengusap air mata Renji, ibu jarinya membersihkan jejak basah di sudut mata suaminya.

​“Kalau kau tetap di sini… kau akan mati di tangan mereka. Kalau kau pulang, aku memang hancur, kita berdua hancur. Tapi setidaknya aku tahu kau akan hidup lebih lama.”

​Ia menatap mata suaminya lama sekali, seolah ingin menanamkan wajah itu dalam memori untuk selamanya.

​“Aku sudah tahu dari awal… cinta ini tak akan punya rumah. Tapi aku tetap tak pernah menyesal telah melewati semua ini bersamamu.”

Tangannya naik perlahan, mengelus rambut Renji yang masih setengah basah.

“Kita sudah terlalu sering menantang maut bersama, Renji… tapi kali ini, aku tak bisa ikut melawan takdir.”

​Senara menyentuh wajah Renji, seolah ingin mengukir setiap garis di sana. Ia membayangkan bagaimana wajah ini akan menua di Jepang, tanpa dirinya.

​“Kalau kau mencintaiku… pulanglah, Renji. Pergilah seolah kita tak pernah ada. Meski itu berarti… tak bisa lagi bersamaku.”

​Ia menarik napas yang terberat.

​“Asal aku tahu kau baik-baik saja… mungkin aku bisa terus hidup—walau dengan jantung yang tak pernah berdetak normal lagi. Untuk anak-anak kita.”

Lihat selengkapnya