Renji terdiam sejenak. Ingatannya melayang pada tatapan Lukas yang pernah memandang Katana miliknya dengan penuh rasa kagum dan hormat. Lalu ia menarik napas panjang.
“Dan… berikan Katana-ku pada Lukas.”
Renji menunjuk Katana itu, seolah menyerahkan sebuah warisan.
“Sampaikan padanya, kalau mulai saat ini, Lukas yang menggantikan aku melatih para pemuda. Mereka harus tetap latihan meski tanpa aku. Demi menjaga desa.”
Senara mengangguk, menerima tugas itu sebagai janji abadi.
Renji teringat sesuatu. “Dan surat-surat lamaku… yang dulu aku tulis saat di Sanggau… aku sembunyikan di bawah lantai kayu, di bawah tempat tidur kita. Aku ingin kau membacanya… menyimpannya. Itu… bagian dari diriku yang tak bisa kubawa pergi.”
Lalu ia menyentuh perut Senara yang masih rata. Matanya dipenuhi campuran cinta dan kesedihan yang tak tertahankan.
“Aku tidak akan sempat melihatnya lahir,” bisik Renji. “Dan aku tidak akan sempat mewujudkan keinginanku untuk mendengar cucu memanggilku Ojii-chan…”
Tangis Senara pecah, ia memeluk Renji erat-erat. “Jangan pernah berpikir untuk menyerah atau mengakhiri hidup di sana, Renji. Jangan sia-siakan pengorbananku yang terpaksa melepaskanmu. Hidupmu… adalah harapanku.”
Renji menatap wajah Senara lama. Ia mengukir wajah itu di ingatannya.
“Kau cantik sekali, Nara-chan,” katanya, suaranya dipenuhi rasa sakit. “Aku… iri dengan lelaki yang nanti akan menggantikanku. Yang akan mendampingimu sampai tua.”
Senara menggeleng, air matanya kembali membasahi pipi. Ia menahan napas, mengangkat tangan, menangkup wajah Renji.
“Tak akan ada lelaki lain,” katanya, suaranya gemetar tapi tegas. “Kau… adalah cinta pertama dan terakhirku. Satu-satunya cinta yang ingin kugenggam sampai akhir hayatku. Aku tak akan pernah memilih siapa pun lagi. Aku tidak akan pernah mencari pengganti nama yang sudah kuukir di batu nisanku sendiri.”
Keheningan yang pekat menyelimuti. Jam di dinding berdetak pelan, menuju fajar yang akan memisahkan mereka selamanya.
Mereka saling menatap. Tanpa kata, mereka tahu apa yang dibutuhkan oleh jiwa mereka yang hancur. Bukan perpisahan verbal, tetapi penegasan fisik bahwa cinta mereka tak terkalahkan oleh takdir.
Senara meraih tangan Renji, membimbingnya ke tempat tidur.
Di bawah cahaya lampu minyak yang redup dan goyah, tanpa ucapan atau air mata lagi, mereka saling memeluk. Setiap sentuhan kini bukan lagi gairah— tetapi doa, janji, dan perpisahan.
Itu adalah saksi bisu terakhir bahwa di tengah kejamnya perang, penyesalan, dan pengkhianatan, mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai sampai ke tulang sumsum.
Malam itu—satu-satunya malam yang mereka miliki—menjadi milik mereka sepenuhnya. Hubungan mereka… meski terburu-buru, tergesa oleh waktu yang tak memberi ampun—tetap sarat dengan rasa.
Mereka melepaskan diri dalam cara satu-satunya yang mereka bisa. Penuh cinta, air mata, dan janji yang tak bisa ditepati.
Semua menempel di setiap sentuhan, setiap ciuman, setiap hembusan napas. Mereka saling memeluk erat, menautkan jari-jari, mencoba mengukir malam itu dalam memori, sebelum harus melepaskan segalanya.
Di luar, gerimis malam telah berhenti. Udara mulai dingin, dan sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Senara menunduk, kepala menempel di dada Renji, suaranya bergetar saat ia berkata,
“Renji… kalau hidup mempertemukan kita lagi, bahkan mungkin dalam reinkarnasi… aku akan mengenalimu hanya dari caramu memanggilku… Nara-chan.”
Lelah, Senara tertidur di pelukan Renji, dengan sisa air mata yang mengering di kedua belah pipi.
Renji memandangi wajah istrinya. Wajah yang akan ia bawa di setiap langkah di tanah asalnya—yang kini terasa asing.