Renji memejamkan mata sesaat, sebuah bayangan rasa sakit melintas di wajahnya yang basah. Ia menggeleng pelan, rasa perih mencekik kerongkongannya.
“Jika aku melihatmu… aku… tidak akan sanggup pergi, Nara-chan. Aku takut… wajahmu akan terus muncul… dan membuatku mimpi buruk setiap malam. Aku takut tak sanggup bertahan di sana.”
Setiap kata-kata keluar dengan susah payah, sebuah pengakuan yang lebih menyakitkan dari seribu tusukan pedang.
Senara mengangguk, senyum getir terukir di bibirnya, senyum yang dipenuhi luka dan ketabahan yang menghancurkan.
“Baiklah. Kalau begitu… ingatlah aku seperti malam-malam kita yang dulu… di hutan. Di gubuk. Di pondok kita. Saat aku belum tahu apa pun tentang dunia… selain dirimu.”
Renji membuka mata. Wajahnya penuh luka. Bukan luka perang. Tapi luka perpisahan.
“Jangan… katakan itu…”
“Aku harus,” potong Senara lirih, jemarinya menyentuh pipi Renji. “Terima kasih… untuk semua kenangan indah itu… Tuan Takeyama. Dan karena kau... telah menjagaku dengan segenap jiwa ragamu.”
Nada bicara Senara berubah. Mencoba tegar, tapi suaranya terdengar patah. Ia menekan kata ‘Tuan Takeyama’ seolah ingin menegaskan jarak yang kembali terbentang di antara mereka.
“Aku berharap… kau dapat hidup bahagia… di sana,” lanjutnya, suaranya kian rapuh. “Meskipun… bukan denganku.”
Kalimat itu menghantam Renji seperti palu godam. Mata Renji yang semula tertunduk kini langsung terangkat, menatap wajah Senara yang matanya merah, air mata mengalir deras.
Kata-kata Senara barusan, yang begitu tulus merelakan—seolah berkata bahwa gadis itu sudah merestui seandainya ia bertemu wanita lain dan memulai hidup baru. Hati Renji terasa diremas, sakit yang tak tertahankan.
“Kau pikir aku akan semudah itu menggantikan posisimu di hatiku... dengan orang lain, Nara-chan?” Suaranya serak, penuh kepedihan yang mendalam.
Senara menjawab dengan lirih, “Kau harus melanjutkan hidup, Renji. Aku sudah merasa cukup dengan semua kenangan yang kita miliki. Kau juga sudah memberiku hadiah paling berharga—sebagai warisan cinta kita…”
Ia menurunkan tangan dan memegang perutnya yang masih rata. “…yaitu Haruki... dan adiknya.”
Renji tampak membeku.
“Aku akan bahagia di sini, karena aku bisa melihatmu lewat wajah anak-anak kita,” lanjut Senara, matanya memandang Renji dengan seluruh cinta yang ia miliki.
Ia menunduk sebentar, lalu menatap Renji penuh keyakinan. “Tapi kau di sana… tidak punya siapa-siapa. Maka kau juga harus menemukan kebahagiaanmu.”
“Nara-chan...”
“Berjanjilah padaku, Renji. Tolong...”
Sebuah janji yang ia minta, padahal ia tahu itu mungkin tidak akan pernah terwujud.