Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #127

Hidup Dalam Setiap Tarikan Nafas

Malam di kamar tidur Senara terasa dingin, jauh lebih dingin daripada udara di luar. Ruangan itu kini dipenuhi aroma kayu tua, debu kenangan, dan tangis yang tertahan.

​Senara tua memejamkan mata. Butiran air mata mengalir perlahan, meninggalkan jejak basah di pipinya yang keriput. Ia membuka mata, menatap langit-langit seolah mencari bayangan yang menghilang 70 tahun silam.

“Itu terakhir kali aku melihatnya,” ucapnya parau. “Kami berpisah dengan air mata. Setelah itu... tak pernah ada kabar yang kudengar... atau surat yang dikirimkan.”

Ia mengusap ujung matanya yang basah, seolah hendak menyingkirkan bayangan seseorang di sana. “Sampai sekarang aku tidak tahu... apakah suamiku sudah meninggal atau masih bernyawa di Jepang. Tapi dia hidup...”

Senara menyentuh dadanya sendiri. “... Di sini. Sampai saat ini.”

Kesunyian menggantung. Tiga orang dalam ruangan, tiga napas berat yang menahan sesak.

Zalya memeluk lututnya, menatap Senara dan Haruki. “Jadi… semua kenangan itu… Obaa-chan simpan sendirian selama ini?”

Senara mengangguk. “Ya. Aku melanjutkan hidup, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Membesarkan anak-cucu kami dengan menyematkan nama Takeyama... dan gelar Ojii-chan untuknya. Itu satu-satunya cara bagiku untuk menepati janji perpisahan. Janji yang pernah kami buat saat masih bersama. Renji mungkin hidup… tapi tidak untukku.”

​Ia menarik napas panjang, perlahan berdiri, lalu berjalan pelan ke arah lemari pakaiannya. Setiap langkah terasa berat, seakan menapaki kenangan yang tak pernah bisa ia lepaskan. Ia membuka lemari itu dengan tangan gemetar. Aroma kertas tua dan kapur barus menyambutnya ketika pintu lemari terbuka.

Senara kembali duduk di ranjang dengan bersandarkan bantal di hadapan mereka.

​“Surat-surat itu… dia sembunyikan,” Senara berkata pelan, nafasnya lambat, suaranya nyaris bisikan, “dan dia memberitahu tempatnya, malam sebelum ia pergi.”

​Senara menunjukkan semua yang pernah ditinggalkan Renji: seragam militer, surat-suratnya, foto-foto hitam putih yang menampilkan lelaki muda dengan senyum cerah di antara bahaya dan peperangan. Juga... foto kenangan mereka saat Haruki masih umur satu tahunan.

​Zalya menyingkirkan genangan di kedua sisi wajahnya, menatap Senara dengan mata yang masih merah dan penuh amarah.

​“Obaa-chan,” kata Zalya, mencoba menguatkan suaranya. “Kalau aku jadi Obaa-chan, aku nggak akan melepaskan Ojii-chan Renji. Aku akan tetap memilih kabur dan bersembunyi lagi ke mana pun, meski harus membawa dua anak kecil.”

​Senara tersenyum pahit, senyum yang dipenuhi luka dan ketabahan.

​“Kau benar, Sayangku,” jawabnya lirih. “Jika aku hanya memikirkan hatiku, aku akan lari bersamanya sampai ke ujung dunia.”

​Ia menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu di tenggorokan yang tak jadi berubah menjadi air mata. “Tapi kalau aku kabur… aku jadi orang yang tidak menepati janji, Zalya. Aku tidak bisa mengecewakan Souta yang juga sudah berkorban habis-habisan demi adiknya. Aku terlanjur menerima syarat darinya. Dan semua ini... demi keselamatan Renji. Demi kita semua. Tidak ada cara lain untuk melindunginya selain melepaskan.”

Senara menghapus lelehan hangat di pipinya yang keriput. Di depannya, Zalya menangis tersedu—tangisan yang lebih mirip jeritan jiwa— memegang erat salah satu surat yang ditulis Renji di penjara. Haruki, yang selama ini tegar, kini hanya bisa menunduk, tapi bahunya berguncang.

Lihat selengkapnya