Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan yang basah oleh embun. Pondok kecil di tepi hutan itu berdiri tenang, dinding kayunya mengilap lembap diterpa cahaya matahari yang baru menembus celah dedaunan.
Hanya sehari sejak kepulangan Senara dan Haruki ke pondok kecil mereka. Tapi kali ini tanpa Renji. Tanpa sosok yang begitu berarti dalam hidupnya.
Tiba-tiba, suara derap langkah memecah sunyi. Di antara pepohonan yang masih basah, muncul tiga sosok yang sangat dikenal—Lukas, Ero, dan Jau. Wajah mereka berbinar gembira, seolah kepulangan Senara adalah kabar kemenangan yang paling mereka tunggu.
“Kak Senara!” seru Lukas, yang pertama mendekat. Ia tampak lebih tegar, mandau terselip di pinggangnya. “Kami kira Kakak dan Haruki sudah pergi jauh! Kami senang Kakak kembali!”
Senara menoleh. Lengkungan tipis menghiasi bibirnya, tapi mata itu menyimpan sembab yang tak bisa disembunyikan.
“Selamat pagi… kalian sudah datang?” suaranya pelan, nyaris tertelan desir angin.
Lukas mengangguk. “Pagi ini kami langsung ke sini begitu mendengar Kak Senara pulang kemarin sore.”
Sunyi sejenak, lalu Lukas bertanya dengan hati-hati. “Sekitar seminggu yang lalu aku dan Apa’ Bujang menjenguk Sensei di penjara Pontianak. Dia... menanyakan kabar Kak Senara dan Haruki. Apa Kakak... sudah menjenguk Sensei?”
Senara tersenyum pahit. “Iya, Lukas. Aku sudah bertemu Renji.”
“Bagaimana kabarnya, Kak?” tanya Lukas penuh harap.
Senara menelan ludah. Pandangannya menerawang ke arah matahari yang baru terbit, seolah mencari bayangan suaminya di sana.
Ada jeda panjang. Kepalanya kini menunduk, jemarinya saling menggenggam erat. Ia menarik napas berat, suaranya keluar—lemah, dingin, nyaris bergetar—membekukan kehangatan pagi.
“Kemarin… pengadilan Sekutu menjatuhkan vonis mati padanya.”
Tiga murid Renji sontak membeku. Ekspresi kebahagiaan Lukas seketika runtuh. Ero terhuyung mundur. Jau mencengkeram erat tombaknya.
“Apa?! Apa yang harus kita lakukan? Kita harus menyelamatkannya, Kak!” Lukas panik, wajahnya memucat.
“Tidak perlu,” kata Senara, suaranya hampa. Ia memaksakan diri terlihat tegar. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa. Kakaknya, Souta, sudah menyelamatkan dia dari hukuman mati. Renji sudah bebas.”
Napas lega yang mereka embuskan terasa tebal dan berat.
“Syukurlah! Kalau begitu, di mana dia sekarang, Kak?” tanya Ero, matanya berbinar kembali. “Kita harus menyambut Sensei!”
Senara diam. Jeda sunyi itu terasa seperti jarum yang menusuk berulang kali. Ia melihat wajah-wajah polos yang penuh pengabdian dan cinta pada guru mereka. Dan ia harus menghancurkannya.
“Renji…” Bisikannya tercekat. “Dia sudah pulang ke Jepang.”