Pagi-pagi di pondok itu selalu dimulai dengan keheningan. Hutan masih berkabut, suara burung belum ramai, dan dapur kayu tempat Senara menjerang air selalu jadi titik paling hangat satu-satunya. Sejak Renji kembali ke Jepang, hidup Senara berjalan seperti lembar kertas yang dipaksa kosong. Tak ada lagi kehangatan yang dulu diisi oleh tawa dan suara Renji.
Senara bertahan hidup. Ia hanya bergerak demi Haruki—menyiapkan makanan, memandikan, memastikan anak sulungnya itu tidak terlalu merasakan ketiadaan ayahnya.… lalu diam. Diam terlalu lama untuk seseorang yang hatinya sedang diacak-acak rindu.
Setiap malam, setelah Haruki tertidur, Senara hanya bisa memeluk dan membaca surat-surat Renji yang ia tinggalkan. Air mata menetes di atas tinta, mengaburkan kata-kata janji yang kini terasa seperti ejekan takdir.
Air matanya selalu jatuh tepat di baris yang sama...
“Tapi aku... akan selalu mencintaimu, Nara-chan-ku.
Karena kau adalah bunga yang tumbuh dalam hati ini...”
Hari-hari terasa hampa, memanjang menjadi duka yang abadi.
Pondok itu adalah saksi bisu, dan setiap sudutnya adalah pengingat yang menyakitkan—halaman tempat Renji melatih, meja kayu tempat mereka makan berdua, hingga balai-balai tempat Senara selalu tidur sambil menunggunya pulang dari hutan.
Setiap pagi, suara langkah kaki terdengar dari jauh, dari jalan setapak menuju pondok. Lukas, Ero, Jau, dan murid-murid Renji yang lain selalu datang setiap hari. Mereka menempuh perjalanan jauh untuk berlatih di pondok.
Sebenarnya jauh lebih mudah kalau mereka latihan di kampung, tapi mereka tetap memilih pondok. Demi mengenang Sensei dan memastikan keluarga yang ditinggalkannya dalam keadaan aman.
“Ini tempat Sensei,” kata Lukas suatu hari. “Dan… tempat Kak Senara. Jadi kami harus ke sini.”
Latihan mereka keras tapi diam-diam sentimental—pukulan kayu ke bambu, gerakan dasar yang diulang hingga tangan memerah, dan pembicaraan pelan tentang Renji yang mereka sebut “Sensei” dengan cara seakan lelaki itu baru saja pergi satu jam lalu.
Kadang Senara melihat mereka dari kejauhan dan hatinya menghangat sedikit. Ketulusan mereka mengingatkan bahwa Renji tidak pernah pergi sepenuhnya.
Dan entah siapa, tapi Senara beberapa kali merasa ada bayangan pengawas di tepi hutan. Tidak mendekat, tidak mencurigakan—sekadar berjaga. Ia sadar. Itu pasti orang-orang yang Souta kirim. Janji yang diucapkan pria Jepang itu bukan main-main.
Ia tersenyum kecil pada pikirannya sendiri.
Renji dikelilingi orang-orang yang tahu mencintai dengan diam.
Suatu pagi, saat matahari baru menyentuh atap, Senara sedang menjemur pakaian di halaman belakang. Haruki mengekor di sampingnya, membawa kayu seperti pedang, menirukan gaya ayahnya. Angin lembut. Damai.
Sampai suara ranting patah membuat tubuh Senara membeku.
Ia menoleh cepat.
Salim berdiri beberapa meter dari sana.
Napas Senara tersendat. Bukan karena takut ia akan disakiti—lebih karena ingatan buruk yang tiba-tiba mencengkeram tengkuknya.
“Jangan takut,” kata Salim cepat, mengangkat kedua tangannya. “Aku datang bukan untuk menyakitimu.”
Senara tak menjawab. Tangannya otomatis menarik Haruki mendekat.
Salim melangkah satu kali ke depan, lalu berhenti lagi. “Aku hanya ingin memastikan… kau baik-baik saja, Nara.”
Senara tahu itu bukan alasan sebenarnya. Tatapannya terlalu dalam. Terlalu lama. Terlalu… berharap.
Akhirnya pria itu bicara apa adanya.
“Aku datang untuk menawarkan diriku.”