Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #130

Hidup Di Antara Kenangan dan Masa Depan

Matahari siang itu menggantung tepat di atas kepala ketika Senara memasuki halaman rumah tetua desa dengan langkah berat. Di sisi kirinya, Haruki berjalan sambil menggenggam ujung kain ibunya. Di belakang mereka, Lukas, Jau, dan Ero berdiri tegak, seperti tiga penjaga yang tak akan goyah oleh apa pun.

Di dalam rumah panjang itu, suasana hening menyambut mereka. Uwe’ Lami dan Apa’ Bujang duduk di tengah ruangan, dikelilingi beberapa warga yang kebetulan sedang singgah. Ketika Senara membungkuk bersimpuh di hadapan mereka, semua percakapan terhenti.

Berita tentang kepulangan Renji ke Jepang telah sampai, dan seluruh warga desa merasakan kesedihan yang sama. Mereka tahu, cinta Senara sejati—kepergian Renji adalah takdir yang kejam.

Senara menunduk dalam-dalam.

“Uwe’, Apa’…” suara Senara tercekat, nyaris tak terdengar. “Aku datang… untuk meminta izin. Aku dan Haruki… bolehkah kami tinggal di desa ini, setidaknya… sampai aku melahirkan?”

Uwe Lami memandang wajah Senara lama sekali, lalu pelan-pelan tangannya yang gemetar memegang pipi Senara.

“Anakku…” suaranya bergetar, pecah di ujungnya. “Kami sudah mendengar kabarnya. Tentang suamimu yang… pulang ke negerinya.”

Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Hatiku ikut pecah… karena kau, Anakku.”

Senara menahan napas. “Saya mohon maaf membawa kabar seperti itu.”

Uwe Lami menggeleng keras.

“Kau tidak salah apa-apa. Dan tidak perlu meminta izin, karena sejak kau datang bersamanya dulu… kau sudah kami anggap sebagai darah kami sendiri. Rumah-rumah kami adalah rumahmu. Anak-anak kami adalah saudaramu.”

Apa’ Bujang menambahkan dengan suara berat, “Kau boleh tinggal di sini… sampai kapan pun kau mau. Selamanya. Sampai akhir hidupmu.”

Suasana hening sejenak. Hanya napas dan isakan samar dari beberapa perempuan desa yang terdengar.

Akhirnya Senara menggeleng perlahan.

“Tidak, Apa’... Uwe'… Saat anak keduaku sudah besar sedikit, aku akan pergi dari kampung ini. Aku tidak sanggup…” ia menelan getir yang naik di tenggorokan, “untuk hidup terlalu lama di tempat yang terlalu banyak menyimpan kenangan. Pondok itu sekarang… setiap sudutnya menyakitkan, Uwe’.”

Ia menunduk. “Desa ini tempat kami memulai semuanya. Tempat kami mendapatkan ketenangan. Tapi juga… tempat di mana aku merasa kehilangan paling dalam.”

Uwe' Lami menutup bibir dengan tangan, menahan isak. Apa’ Bujang menunduk, menerima keputusan itu tanpa memaksa.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “setidaknya tinggallah selama yang kau kuatkan. Kami akan menjagamu dan anak-anakmu. Jangan pernah berpikir kau sendirian.”

Senara menunduk hormat. “Terima kasih… dari hati terdalamku.”

Uwe’ Lami memegang tangan Senara erat, mengangguk penuh pengertian. Mereka tahu. Mereka mengerti bahwa bagi sebagian orang, melepaskan tempat adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan jiwa.

Hari-hari bergerak cepat. Senara menjalani hidupnya di desa, dilindungi oleh selimut komunitas yang hangat. Ia sering melihat Lukas, Ero, dan Jau yang datang dan pergi. Katana Renji kini menjadi bayangan permanen di pinggang Lukas.

Setiap pagi, Lukas dan murid Renji yang lain berjalan menuju pondok. Mereka tetap teguh pada sumpah mereka—tetap berlatih di sana, meski jauh dari desa.

Dan semua warga tahu alasannya— itu penghormatan pada sang Sensei.

Sesekali, Senara akan ikut mereka ke pondok. Bukan untuk berlatih, melainkan untuk ritual perpisahan pribadinya. Ia membersihkan lantai kayu, mengelap debu di ambang jendela, dan duduk di teras sambil memejamkan mata, mencoba menangkap sisa-sisa aroma Renji.

Kadang ia menutup mata dan nyaris bisa melihat Renji duduk di tepi beranda—kakinya menjuntai ke tanah, sambil sesekali mengomentari posisi berdiri murid-muridnya.

Kadang ia bisa membayangkan Renji berjalan hilir mudik di depan pondok, memegang ranting untuk menunjuk posisi tangan yang benar.

Kadang ia merasa melihat bayangan Renji berdiri di ambang pintu, tersenyum lembut saat menyapanya dengan “Okaa-san”.

Lihat selengkapnya