Senara menarik napas panjang. Senyum tipis yang getir tersungging di bibirnya yang kering.
“Dan… itu awal kehidupan kami di Pontianak. Di sini,” katanya pelan.
Zalya yang duduk di karpet, memeluk lututnya sendiri, mengangguk penasaran.
“Awal-awalnya… susah, ya?” tanya Zalya.
Senara tertawa kecil. “Susah sekali. Kau pikir Obaa-chan-mu selalu setenang ini? Dulu aku sering menangis sambil menggendong Minami, sambil mikir besok makan apa. Bayangkan, aku harus membesarkan dua anak sendiri sambil mencari nafkah.”
“Terus gimana?”
“Untungnya… tiga murid pertama Ojii-chan-mu—Lukas, Ero, dan Jau—selalu datang. Kadang sebulan sekali, kadang dua bulan. Mereka bawakan beras, hasil kebun, sedikit uang. Sumbangan desa. Jadi bebanku lumayan berkurang.”
Zalya senyum. “Kayak bodyguard kiriman takdir.”
“Kurang lebih begitu. Dan mereka ikhlas. Bilang itu balasan untuk jasa guru mereka. Tapi setelah keadaan ekonomi kami mulai stabil, aku meminta mereka tak perlu sering-sering datang. Aku tak mau merepotkan.”
“Akhirnya mereka hanya datang setahun sekali,” sela Minami, yang ikut menyimak kisah yang juga baru ia dengar secara penuh ini.
“Benar. Lama-kelamaan, hanya beberapa tahun sekali,” Senara memejamkan mata. “Hingga akhirnya, kabar duka itu datang.”
Kesunyian menggantung.
“Di tahun 2009, Lukas wafat,” lanjut Senara dengan suara bergetar. “Kami sekeluarga pulang ke desa untuk melayat. Dan di sana… keturunan Lukas menyerahkan sesuatu kepadaku.”
Senara menoleh pada Haruki yang duduk diam di sampingnya. Haruki menunduk.
“Itu pedang milik Otou-san,” bisik Haruki. “Katana itu.”
Haruki berdiri, mengambil katana yang tergantung di dinding, lalu membawanya ke cucunya. Ia tidak melepas sarungnya.
“Ini yang Paman Lukas jaga puluhan tahun. Dia tidak pernah menggunakannya untuk menyakiti, hanya merawatnya sebagai pusaka suci. Dia menepati janji pada gurunya—bahwa katana itu tidak akan ternoda oleh niat buruk.”
Senara mengangguk. “Lukas berwasiat, katana itu harus kembali kepada Haruki, putra Renji."
“Kenapa harus balik ke Ojii-san?” tanya Zalya.
“Karena,” Senara menjawab lembut, “dia bilang tugasnya sudah selesai. Katana itu adalah amanah, bukan senjata. Ia menjaga simbol Renji untuk waktu yang sangat panjang. Dan simbol itu, harus kembali kepada darah dagingnya.”
Haruki tersenyum pahit. “Seolah Otou-san akhirnya pulang.”
Senara menatap Haruki. “Iya, dia pulang. Bukan secara jasad, tapi lewat sesuatu yang pernah ia genggam dengan jiwa dan sumpahnya. Setelah puluhan tahun di tangan orang lain, katana itu kembali—tidak untuk berperang, tapi untuk diistirahatkan dalam damai.”
Minami mengangguk, matanya basah. “Otou-san meninggalkan katana kepada Paman Lukas sebagai warisan tugas… dan Paman Lukas mengembalikannya kepada Onii-chan sebagai warisan darah.”
“Tepat,” bisik Senara. “Katana itu tetap di rumah, aku gantung di dinding, di antara foto-foto lama kami… sebagai saksi bisu bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar mati, dan Renji selalu ada di antara kita.”
Suasana hening sejenak, penuh haru. Zalya akhirnya mengajukan pertanyaan yang paling penting.
“Obaa-chan…” Zalya ragu, “Selama semua tahun itu, pasti banyak laki-laki yang datang. Kenapa Obaa-chan tidak pernah menikah lagi?”
Senara tersenyum samar, senyum yang dipenuhi memori Renji dan hujan.
“Karena aku sudah pernah mencintai seseorang… lebih dari aku mencintai diriku sendiri,” jawabnya lirih. “Dan setelah dia pergi… tak ada yang bisa menggantikan cara dia memanggilku… Nara-chan.”