Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #133

Extra part : Memori sang Shōi (Bagian 1)

Aku menceritakan ini bukan untuk dikenang. Dunia tak butuh ingatan tentang seorang prajurit yang gagal memilih antara tugas dan hati. Tapi sebelum segalanya lenyap—sebelum namaku dikubur di laporan militer yang dingin—aku ingin meninggalkan sesuatu yang lebih jujur dari semua catatan perang.

Sebuah kebenaran kecil tentang seorang manusia yang pernah belajar mencintai, di tengah dunia yang hanya mengenal cara membunuh.

Aku adalah anak bungsu dari keluarga Takeyama, klan bangsawan samurai yang bertransformasi menjadi elite militer Angkatan Darat Kekaisaran. Keluarga kami setia mengabdi pada Kekaisaran selama empat generasi. Hidup kami bukan lagi milik kami, melainkan milik Negara.

Ayahku, Takeyama Hiroshi, adalah seorang perwira tinggi yang kaku, dibangun dari batu dan disiplin militer yang tanpa celah. Ia selalu berkata, “Seorang perwira tidak boleh goyah. Tidak boleh ragu. Tidak boleh kalah oleh kelemahan hati.”

Aku mengangguk waktu itu —

Hai… wakarimashita, Chichiue.

Suara sendiri terdengar kecil di telinga. Tunduk, tapi terasa seperti dicekik.

Di rumah kami tersimpan sebuah katana tua peninggalan leluhur—bilah yang pernah dibawa ke medan perang pada zaman samurai terakhir. Ayah sering meletakkan di pangkuannya saat berbicara tentang kehormatan keluarga, jemarinya menyusuri sarung kayu itu seolah menyentuh sejarah yang tak boleh dikhianati.

Saat usiaku lima belas tahun, ia menaruhnya di depanku, mengetuk sarung katana itu dengan jarinya dan berkata,

“Lihat baik-baik, Renji. Ini bukan senjata… ini kehormatan keluarga kita.”

Aku tak menjawab, tapi mataku fokus menatap bilah katana itu dengan perasaan antara kagum dan terbebani.

“Takeyama tidak pernah menyerah, apalagi mundur,” katanya lagi.

Aku mengulum napas. “Chichiue… apakah aku benar-benar harus—”

“Tidak ada ‘harus’, Renji. Ini takdirmu.”

Dan saat itu, aku berhenti mencari jalan lain.

Itu bukan hadiah, bukan warisan—lebih seperti penanda nasib yang tak bisa kutolak.

Kami tidak pernah duduk dan tertawa di meja makan. Yang ada hanya laporan, evaluasi, dan keheningan yang menghakimi. Aku jarang melihatnya tersenyum. Jika pun ada, senyum itu adalah penghargaan atas keberhasilan Souta—kakakku.

Souta Nii-san, lahir lebih tua sepuluh tahun dariku. Saat aku masih remaja, ia sudah menjadi perwira, menapaki jalan yang ditentukan untuknya—melayani negara dan menjaga nama keluarga.

Sosoknya selalu kukagumi, sekaligus terasa jauh seperti bayangan ideal yang harus kucapai. Kadang aku melihat saat ia memimpin latihan atau menerima laporan dari juniornya—sosok yang disiplin, tegas, tapi adil.

Ibuku, Aiko, adalah wanita lemah lembut dengan senyum yang selalu terukir. Ia selalu memanggilku dengan nama kecilku, Ren-chan, dan membisikkan doa di telingaku sebelum aku berangkat sekolah. Dia adalah tempatku belajar belas kasih yang tersembunyi di tengah dunia yang kejam.

Parade tentara yang lewat di jalan depan rumah kami adalah tontonan sehari-hari. Aku terbiasa melihat barisan seragam hijau tua, katana yang gemerlap tersorot matahari, dan wajah-wajah serius penuh semangat. Setiap parade adalah pengingat visual akan takdir yang sudah tertulis—aku harus menjadi seperti mereka.

Ayah wafat mendadak pada tahun 1939 karena serangan jantung, tepat setelah aku lulus ujian masuk. Kematiannya, alih-alih memberiku kebebasan, justru mengencangkan rantai di leherku. Souta Nii-san mengambil posisi Tōshu—Kepala Keluarga—dengan ambisi yang lebih tajam daripada Ayah.

“Kekuatan ada di tangan kita sekarang,” katanya pada hari pemakaman.

Mata itu dingin, tapi mendidih dari dalam.

“Kau harus membuktikan, Adikku, bahwa kau pantas menyandang nama Takeyama.”

“Nii-san… aku belum siap.”

“Kau siap sejak hari kau dilahirkan. Kita tidak boleh terlihat lemah,” ujarnya.

Lihat selengkapnya