Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #134

Memori sang Shōi (Bagian 2)

Kami adalah kadet tingkat atas, di ambang kelulusan dan penugasan resmi. Aturan di akademi melarang kami keluar setelah jam sepuluh malam, apalagi mengunjungi tempat-tempat hiburan. Tapi peraturan dibuat untuk dilanggar oleh mereka yang punya otoritas.

​“Ini adalah malam inisiasi, Takeyama,” bisik Yamada, salah satu senior yang paling disegani, saat ia menepuk bahuku dari belakang. “Kalau kau takut, bilang sekarang. Biar aku bawakan selimut dan susu hangat.”

“A-aku tidak takut, Senpai…” jawabku kaku.

“Oh?” Yamada tertawa pendek. “Bagus. Jangan membuat malu keluarga Takeyama.”

Aku menelan ludah. “Tapi Senpai… peraturan akademi—”

“Peraturan?” Yamada mendengus. “Aturan dibuat untuk dipatahkan oleh calon perwira, bodoh.”

​Malam itu, mereka membawaku keluar, jauh dari disiplin asrama. Distrik Kagurazaka menyambut kami dengan lampion merah dan lorong sempit yang berbau sake tua. Mereka memilih yang terbaik untuk ‘menyambut’ kami ke dunia nyata.

Aku memang sering mendengar kalau para calon perwira sepertiku sering didorong untuk “merasakan kehidupan” sebelum terjun ke garis depan.

Tubuhku diseret ke gang sempit itu.

Hayaku, Takeyama!”

Senpai... kita... mau ke mana?” tanyaku mulai panik. Aku yang masih berseragam kadet, dipaksa ikut masuk ke sebuah rumah hiburan.

Senior-seniorku tertawa keras di belakang. “Kau harus belajar jadi lelaki sejati, Takeyama. Malam ini, kau akan berhenti jadi bocah,” seru mereka sambil mendorongku masuk.

Aku menunduk, wajahku panas, tapi aku tak bisa menolak.

“Kau hanya perlu diam. Ikuti saja. Cepat atau lambat, semua kadet melewati ini,” kata salah satu dari mereka.

Pintu rumah bordil itu terbuka. Di dalam, ruangan dipenuhi asap rokok, gelak tawa, dan denting lembut alat musik shamisen. Perempuan-perempuan dengan kimono longgar duduk bersandar, rokok di sela jari, suara mereka serak oleh sake.

Seorang wanita tersenyum saat melihat kami masuk—senyum yang entah menghibur atau sekadar pekerjaan.

“Anak baru?” tanyanya, suaranya tenang tapi menusuk. “Kasihan sekali.”

Mereka menyodorkanku botol sake panas, dan meskipun aku menolak, mereka memaksaku minum—sebagai tanda kesetiaan dan perpisahan sebelum kami benar-benar menjadi perwira.

“Minum. Ini tradisi,” desis Yamada.

​“Kau harus tahu, Takeyama,” kata salah seorang senior, matanya merah karena sake. “Wanita di luar sana… mereka adalah hadiah, pelipur lara, atau sekadar pelepasan ketegangan. Jangan pernah libatkan hati. Kita adalah prajurit. Kita hanya perlu mengendalikan mereka.”

​Aku mendengarkan, tapi kata-kata itu terasa dingin dan kosong.

​Tak lama kemudian, ruangan menjadi kabur. Seorang perempuan muda— tapi jelas lebih tua dariku—mendekat. Bau parfum murahan bercampur asap rokok menusuk hidung. Aku merasa ditarik ke kamar sempit di lantai atas.

Di bawah, suara sorakan dan tepuk tangan para seniorku menggema—seakan memberi semangat. Tapi aku lebih merasa kalau itu adalah ejekan.

Pintu ditutup dengan keras.

Kepalaku terasa berputar. Aku jatuh terduduk di lantai, memeluk lutut.

Lampu minyak bergoyang, cahayanya membuat bayangan panjang di dinding. Wanita itu mendekat. Bibirnya merah menyala, senyumnya tipis tapi matanya kosong. Ia menatapku lama, seakan tahu aku masih polos.

Shikan yōsei-san?” suaranya lembut.

Aku mengangguk kaku. Tanganku basah oleh keringat. Aku ingin mundur, tapi tubuhku terpaku.

Wanita itu mengangkat daguku dengan ujung jarinya. Senyumannya tidak jahat, tapi juga tidak hangat.

“Kau masih sangat muda.” Tatapannya menelusuri wajahku. “Dari semua calon perwira yang pernah disodorkan seniormu padaku... kau adalah yang paling tampan.”

Lihat selengkapnya