Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #135

Memori sang Shōi (Bagian 3)

Sejak malam itu di Kagurazaka, aku tak pernah benar-benar mengejar hubungan. Saat menjadi taruna senior, perempuan datang dan pergi dalam hidupku. Mereka bukan cinta, tapi objek yang bisa kubayar untuk mengisi rasa penasaran yang masih bergejolak.

 “Berapa?” tanyaku sambil mengancingkan seragam.

“Lima belas Yen.”

Aku mengeluarkan uang dan meletakkannya di atas tempat tidur. “Ambil dua puluh. Kau tidak perlu tinggal sampai pagi.”

Wanita itu mengambilnya dengan wajah cerah. Namun sebelum membuka pintu kamar, dia berbalik dan bertanya,

“Takeyama-kun, kau tidak minta namaku?”

“Tidak perlu.”

“Tidak perlu… atau tidak mau?”

Aku hanya menarik napas, tak menjawab.

Tidak perlu. Karena aku hanya akan “memakainya” sekali dan tentu saja tak perlu tahu siapa namanya.

Bagiku semua sama. Tubuh yang disentuh, kulit yang dirasakan… tak ada artinya. Itu hanya kontak fisik tanpa jiwa, perempuan-perempuan itu cuma jadi pelarian kosong.

Tapi aku selalu memegang prinsip—tidak ada yang dipaksa. Tidak akan ada yang disakiti. Tidak pernah ada yang kuterima tanpa izin mereka.

“Kau baik sekali untuk seorang calon perwira,” kata seorang perempuan sambil memakai kimono-nya kembali.

“Aku bukan baik,” jawabku. “Aku hanya… tidak ingin menjadi seperti sebagian dari mereka.”

Setelah malam itu, aku belajar sesuatu tentang dunia yang tak diajarkan di parade atau buku strategi— keinginan dan godaan ada, tapi kehormatan adalah pilihan.

Malam-malam itu memberiku pengalaman—tentang tubuh, tentang menahan diri, tentang kontrol. Aku belajar bahwa gejolak seksual adalah bagian dari kehidupan seorang lelaki muda, tetapi hanya hati yang tepat... yang bisa benar-benar membuatmu melepaskan diri.

Buku-buku strategi dan latihan fisik membentuk jasadku, tapi malam-malam itu membentuk pikiranku. Aku menjadi taruna yang diam, penuh disiplin, tapi memiliki dunia sendiri yang tak terlihat orang lain.

Dunia di mana aku belajar menghargai wanita, sekaligus memahami bahwa cinta sejati bukan permainan yang bisa dibeli atau dipaksa.

**

Kelulusan akademi terasa seperti upacara pemakaman. Tidak ada sukacita, hanya kelegaan dingin. Upacara kelulusan itu seharusnya megah. Sepatutnya menjadi puncak dari seluruh keringat, darah, dan malam panjang di Rikugun Shikan Gakkō.

Aku berdiri berbaris bersama ratusan lulusan lain, udara yang hangat bergerak pelan di antara kerah seragam kami.

Nama-nama dipanggil. Sorak-sorai keluarga terdengar di kejauhan—tepuk tangan, tangis haru.

Tapi ketika namaku disebut,

—semuanya terasa jauh.

Seolah aku hanya menyaksikan bayanganku sendiri melangkah ke depan untuk menerima pedang upacara dan dokumen pangkat.

“Shōi Takeyama Renji. Kau adalah kehormatan bagi Kekaisaran. Ambil ini, dan jangan pernah ragu.”

Aku mengangguk hormat. Tersenyum tipis.

Wajahku mungkin tampak bangga dari jauh.

Tapi di dalam… aku hampa.

Sejak malam Kagurazaka itu, aku memang tak pernah pulih.

Aku kembali berdiri tegap di barisan, dada kiriku dihiasi lencana baru. Kini aku adalah Shōi—Letnan Dua—Takeyama Renji. Usia dua puluh satu tahun, aku telah sepenuhnya menjadi senjata Kekaisaran.

Lihat selengkapnya