Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #136

Memori sang Shōi (Bagian 4)

Setelah Komandan pergi, aku berdiri sendiri di ruangan gelap itu, menatap bilah katana-ku. Hanya ada garis merah setipis benang di dekat pangkal.

​Air laut dari angin pelabuhan mengeringkannya sebelum noda apa pun sempat menempel.

​Aku menatap pantulan wajahku di bilah itu dan membenci apa yang kulihat.

​“Bilahnya tetap bersih… tapi hidup seseorang sudah kucemari. Ternyata lebih mudah menodai tubuhku… daripada menodai hidup orang lain.”

​Kakiku tiba-tiba melemas.

​Aku menahan tubuhku, tangan menempel di dinding gudang, tapi lututku kalah.

​Perutku terangkat— memuntahkan seluruh isinya.

Sakitnya seperti menyayat tenggorokan dengan pasir.

Muntah karena jijik pada diriku sendiri.

Aku berharap ada yang menegurku. Marahi aku. Atau bahkan hukum aku.

​Tapi tidak ada siapa pun.

​Hanya suara ombak laut yang sunyi, bilah katana yang bersih, dan tubuh seorang lelaki yang sudah tak bergerak di belakangku.

​Dan saat itu aku sadar...

​Aku bisa membunuh. Tapi aku tidak dilahirkan untuk menjadi pembunuh.

Malam itu aku duduk di belakang gudang sampai fajar.

Dingin, gemetar, dan untuk pertama kalinya… aku merasa tidak pantas menyandang pangkat apa pun.

Setelah hari itu, waktu seperti berhenti dan berjalan bersamaan. Aku tetap menjalankan tugas—patroli, laporan, mengawasi arus logistik—tapi tubuhku bergerak seperti bayangan yang tak punya isi.

Sesekali, ada beberapa dari prajurit bawahanku yang tampak berusaha untuk mengakrabkan diri. Tapi aku... tetap dingin.

“Shōi Takeyama. Di sini agak santai. Besok, mau kubawakan kopi lokal yang dicampur arak? Tradisi, Shōi.”

“Tidak perlu. Urus senjatamu, Prajurit. Disiplin di sini tetap Jepang.”

Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Aku tetaplah seorang perwira yang terkenal suka... sendirian.

Hari-hari di Sumatra berlalu seperti catatan gelap yang terus bertumpuk di pelipisku. Aku makan, tidur, memberi perintah… tapi semuanya terasa seperti tindakan otomatis yang dilakukan orang lain memakai tubuhku.

Setahun lebih dihabiskan di bawah payung Heiho dan Kempeitai yang mengatur logistik, interogasi, dan eksekusi diam-diam. Pangkat Shōi di pundakku terasa seperti laknat.

Para prajurit di bawah komandoku makin kasar, makin liar. Ada masa ketika setiap minggu ada saja laporan penggerebekan, interogasi, atau eksekusi cepat. Kadang aku berdiri di belakang mereka, mengawasi, merasa perutku mengeras... tapi tetap memberikan izin. Karena itulah tugasku.

Karena “perintah adalah perintah”—kalimat yang semakin lama terdengar seperti pembenaran murah.

Aku tidak mengangkat katana, aku tidak menembak. Aku hanya memberi perintah “Eksekusi” atau “Lanjutkan.”

Di masa-masa itu, aku melihat neraka dalam berbagai bentuk.

Aku melihat prajuritku melakukan kekejaman—menyentuh wanita, mengambil harta, menjarah. Aku melihat mayat anak kecil yang tergeletak di pasar, korban peluru nyasar yang tak pernah dipertanggungjawabkan. Aku berdiri di antara komandan lain, menyaksikan sebuah rumah yang dibakar beserta penghuninya karena dicurigai menyembunyikan gerilyawan.

Aku marah, tapi aku diam. Aku tahu jika aku bicara, itu berarti aku melawan sistem. Aku akan dicap lemah, dikirim pulang, atau lebih buruk lagi... membawa malu pada nama Takeyama.

Aku bukan perwira pemberani.

Aku hanya pengecut… yang diberi seragam.

Lihat selengkapnya