Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #137

Memori sang Shōi (Bagian 5)

Mandor bukanlah Sumatra.

​Jika kota pelabuhan itu adalah panggung sandiwara yang diselimuti kepalsuan administrasi yang tertata, Mandor adalah kuburan basah. Di sini, tidak ada barak bersih atau gudang logistik yang rapi. Hanya lumpur, rawa, dan hutan yang diam-diam menelan suara.

​Akhir tahun 1943, aku tiba di sana, masih seorang Shōi berusia dua puluh dua tahun, dengan pengalaman satu kali eksekusi dan dua tahun menyaksikan neraka orang lain.

​Pengawasan Souta Nii-san terasa seperti rantai baru. Ia menempatkanku dalam tim patroli, memaksaku berhadapan dengan alam dan gerilyawan yang jauh lebih mematikan daripada tahanan politik di dermaga.

Aku mengikutinya. Bukan karena percaya, tapi karena tidak punya arah lain.

Mandor bukan tempat untuk hidup.

Bukan pula tempat untuk mati.

​“Kau pikir kau bisa bersembunyi di belakang laporan logistik selamanya?” tanyanya suatu pagi, saat aku menyerahkan daftar amunisi.

​Aku menatapnya datar. “Aku menjalankan tugas yang diperintahkan, Nii-san. Kau yang menempatkanku di sini. Jangan bicara seolah aku yang memilihnya.”

​“Aku menempatkanmu di sini agar kau menjadi prajurit sejati, bukan anak kesayangan Okaa-san yang terlalu menerima banyak doa dan jimat,” desisnya.

Ia tidak mengerti. Aku hanya ingin menjadi manusia yang tidak perlu membunuh. Bukan karena takut dengan kematian.

​Di bawah pengawasannya, aku bergerak dengan kesempurnaan mekanis. Aku memimpin patroli. Mengawasi pos. Menggerakkan pasukan kecil untuk menyisir kampung yang dicurigai. Menghitung mayat dengan wajah datar.

Setiap kali melihat prajuritku menuntaskan perintah dengan cara-cara yang bahkan membuat perutku mual, aku cuma berdiri. Diam. Menahan rasa ingin memuntahkan jiwa sendiri.

“Shōi Takeyama itu… matanya tak pernah berkedip, ya?”

“Diam. Dia dengar, kita tamat.”

Aku dengar. Tapi aku tahu aku memang tidak lebih baik. Aku tetap komandan mereka.

Kalau tangan ini tidak mengayunkan katana, aku yang memberi izin.

Aku menjadi Shōi yang dingin, kaku, tanpa cela. Tapi jiwaku terasa seperti disayat berulang kali.

Sampai suatu pagi, perintah itu datang—penyisiran kecil ke arah pedalaman, dekat jalur yang menuju Mandor dari barat.

​Patroli pagi itu adalah mencari jejak di dekat perbatasan desa Ninti. Gerilya di Landak semakin berani. Hutan terasa tebal, penuh suara serangga dan kelembapan yang mencekik.

Hujan turun sejak tengah malam, dan sisa-sisanya masih menetes dari daun saat kami bergerak. Burung-burung tak terdengar. Bahkan serangga seperti menahan napas.

Aku berkata tanpa menoleh pada Gunsō—Sersan—bawahanku, sebagai kapten kedua.

“Gunsō. Terlalu sepi. Jaga jarak.”

Hai, Shōi.”

Tanda buruk—tapi aku mengabaikannya.

Dan aku tidak tahu... hari itu, adalah hari pertama dari akhir diriku yang lama.

Kami melewati jalur kecil, hanya lima orang. Lumpur menelan langkah kami, akar-akar pohon menggeliat seperti urat tanah.

​Aku berjalan di depan, waspada, katana terselip di pinggang. Kami berjalan di antara rerimbunan pohon ketika tiba-tiba, semak di belakang kami bergetar.

​Tak ada peringatan. Hanya bau besi tua dan gerakan cepat.

​Aku merasakan hantaman keras yang merobek bagian kiri perutku, diikuti oleh rasa sakit yang memancar ke seluruh tubuh. Itu luka sabetan, bukan tembakan.

Lihat selengkapnya