Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #139

Memori sang Shōi (Bagian 7)

Keesokan malam, dengan bantuannya, aku dipindahkan ke gubuk kecil di tepi sungai. Tersembunyi, jauh dari jalur patroli.

Nara-chan membantuku bergerak. Separuh dipapah, separuh diseret.

Aku bisa merasakan beratku membebaninya. Aku tinggi besar. Sedangkan tubuhnya... begitu kurus, mungil. Urat-urat tegang tampak di leher dan lengannya, berjuang menopangku melewati lumpur dan akar yang melilit.

Aku berusaha untuk tak membuatnya kepayahan. Setiap kali dia menarik tanganku, aku menyesuaikan gerakan, sambil menahan nyeri. Rasanya tak pantas. Seorang gadis sekecil dia… harus membawaku, tentara besar ini, yang dalam keadaan terluka parah.

Tapi dia melakukannya.

Dengan gigih. Dengan keberanian.

Rasanya… campur aduk. Kagum, bersalah, sekaligus lega.

Aku mencoba memecah kesunyian, meski nyeri di badan masih terasa menusuk. “Kau ternyata cukup kuat untuk mengangkatku.”

Desah lelah yang menyerupai tawa lolos dari bibirnya, tapi ia tetap melangkah mantap—meski sesekali goyah—sementara lenganku bertumpu pada pundaknya yang jauh lebih rendah dari bahuku.

“Aku makan banyak sebelum datang ke sini. Karena aku tahu… aku perlu banyak tenaga kalau mau menggeser orang sebesar kau.”

Jawaban polosnya membuatku geli. Aku hampir tertawa, kalau saja getaran itu tidak membakar luka di perutku. Jadi yang keluar hanya senyum tipis.

Ah, Nara-chan… Kau kuat bukan karena makanan itu. Kau kuat karena memang begitu dirimu. Gadis kecil yang tangguh—mungkin paling tangguh dari semua gadis yang pernah kutemui.

Saat akhirnya kami sampai di gubuk, aku terengah. Hatiku terasa ringan untuk pertama kali sejak luka ini. Nara-chan menata kain dan peralatan sederhana yang dibawanya, membersihkan sudut lantai, menyiapkan tempat tidur darurat untukku. Dia memastikan aku tidak bersentuhan langsung dengan tanah basah, menyelimuti bagian perut dan pahaku dengan hati-hati.

Dia tidak jijik dengan darahku, atau dengan seragamku yang kotor. Dia membuatnya nyaman, seolah ini bukan tempat persembunyian, tapi rumah sementara yang hangat.

Aku lumpuh, dan bergantung penuh padanya—sebuah aib bagi seorang perwira. Aku harusnya membenci kelemahan ini.

​Tapi di bawah atap reyot itu, hanya ada ketenangan.

Begitu dia selesai, aku menelan sakit, berusaha menenangkan diriku.

“Terima kasih… Nara-chan,” gumamku pelan. Suaraku nyaris tak terdengar.

Dia menoleh. Senyum kecilnya… entah kenapa terasa lebih menguatkanku daripada perban yang baru saja dia pasang. Senyum itu seperti air hangat yang membasuh lukaku.

​“Aku sudah siapkan makanan,” katanya pelan, hampir berbisik seolah takut suara kami terdengar siapa pun. “Seadanya, tapi… aku harap cukup buat malam ini. Aku usahakan untuk datang setiap hari. Siang atau malam… aku akan cari waktu yang aman.”

Dia menunduk sedikit, napasnya terdengar cepat. “Kau harus baik-baik saja di sini, Renji. Kuharap tempat ini bisa membantumu untuk cepat pulih.”

Aku hanya bisa mengangguk. Rasanya ingin menjawab lebih dari sekadar “ya”, ingin bilang bahwa bukan tempat ini yang akan membuatku pulih... melainkan kehadirannya. Tapi mulutku tak bekerja sama. Yang keluar cuma napas pecah yang menyakitkan.

Ia mundur satu langkah, merapikan kain, lalu bersiap kembali ke desanya. Fajar bahkan belum mendekat. Dia harus pulang sebelum ada yang curiga.

Rasa khawatir muncul di dadaku. Aku harusnya melarang dan memerintahnya untuk tinggal, tapi aku tahu aku tidak punya hak.

Mataku mengikuti gerakannya dengan pandangan berat—tak rela membiarkannya pergi sendirian ke dalam gelapnya hutan seperti itu.

Saat Nara-chan mencapai pintu gubuk yang terbuka, ia berhenti. Pandangannya tertuju pada bunga liar Kalimantan yang tumbuh di tepi sungai, di bawah cahaya samar rembulan.

Wajahnya cerah. Cerah—bahkan setelah menghabiskan malam untuk menyeret tubuh orang asing yang berdarah di dua tempat.

Perlahan, dia memetik beberapa batang. Tidak banyak. Seperti orang yang takut menyakiti tanaman indah itu.

Lalu dia membawanya pulang, terselip di genggamannya.

Lihat selengkapnya