Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #140

Memori sang Shōi (Bagian 8)

Aku kembali ke barak, berpura-pura seperti biasa, berpura-pura loyal. Tapi setiap langkahku adalah langkah palsu.

Bahkan setelah luka di perut dan pahaku hanya tinggal berupa parut samar, suara dalam kepala ini masih memutar wajahnya—cara ia menunduk ketika menerima bunga kecil itu, kelopak yang bergetar di antara jemarinya, dan senyumnya… senyum yang tidak seharusnya kubawa kembali ke barak perang dan menjadi angan-angan sebelum tidurku setiap malam.

“Kalau aku masih hidup… aku akan kembali.”

Aneh, itu pertama kalinya aku mendengar suaraku terdengar jujur.

Hari-hari setelah aku pulih total, rutinitasku kembali seperti yang lama—memimpin patroli, menjaga perimeter, menyisir desa-desa yang dicurigai menyembunyikan para gerilyawan. Semua kulakukan dengan presisi.

Tapi tak ada yang tahu... kalau hatiku, bahkan lebih kacau dari keadaan di tanah jajahan ini.

Keinginan untuk mencari dan melihat Nara-chan lagi benar-benar mengacaukan fokus dan akal sehatku.

Malam itu selesai patroli, aku masuk ke barak, menyalakan lampu redup, lalu duduk di ranjang besi yang terlalu keras. Bau karat, debu, dan darah lama mengusir ketenangan yang pernah kumiliki selama sepuluh hari. Tapi ada sesuatu yang aneh malam itu—perasaan kosong yang tak tahu harus kuletakkan di mana.

“Nara-chan... kau adalah gadis Kalimantan yang seharusnya hanya lewat seperti bayangan hutan…” gumamku sambil menatap langit-langit barak.

Kupejamkan mata, lalu menarik dan melepaskan napas panjang.

“Tapi kenapa... kau justru jadi alasanku untuk selalu menunggu besok?”

Kuusap wajah dengan kedua telapak tanganku yang kasar. Lalu tanpa sadar keluar kalimat yang membuatku benci untuk mengatakannya.

“Aku ingin bertemu lagi denganmu, Nara-chan. Dan mungkin, kita bisa bertemu besok... di suatu tempat.”

Aku baru saja melepaskan topi militer ketika suara langkah tergesa datang dari luar barak. Seorang prajurit muda muncul di pintu, terengah.

“Shōi! Besok pagi kita dapat perintah patroli besar. Chūsa Takeyama bilang… Anda harus siap lebih awal.”

Aku hanya mengangguk. Formal. Datar.

Tapi dadaku terasa sesak aneh—seperti medan perang sedang menyiapkan cara lain untuk menarikku kembali.

Ketika malam semakin dingin, aku merebahkan tubuh, tapi mataku tak mau tertutup. Ada bagian dari diriku yang tertinggal di gubuk itu—dan aku benci karena menitipkannya pada gadis yang seharusnya tidak boleh kusukai.

**

​Besoknya, aku memimpin patroli pagi.

​Suara mesin mobil patroli yang berderam berat, bergetar cepat di tanah merah. Para prajurit di sekitar pos langsung menajamkan pandangan. Hawa fajar masih berkabut tipis ketika kendaraan militer ringan yang aku naiki berhenti mendadak.

Pintu terbuka.

Sepatu bot bersih menyentuh tanah.

Aku turun pertama. Berseragam bersih, lengkap dengan katana di pinggang dan emblem Shōi di kerah seragam. Topi militer menaungi wajahku yang tajam, tapi beku. Itu adalah topeng yang sempurna.

Udara langsung berubah.

Prajurit-prajurit itu langsung mengeraskan badan. Aku bisa melihat ketegangan di wajah mereka—ketakutan yang biasa muncul tiap kali seorang Shōi lewat. Wajar. Mereka tahu satu langkah salah saja bisa menghabisi karier mereka.

Lihat selengkapnya