Aku menoleh ke arah keranjang. Tangan kananku masuk ke dalam saku. Lalu tanpa bicara, aku menyelipkan sesuatu ke balik anyaman rotan. Beberapa tablet obat demam dan penahan nyeri.
“Obat untuk pasien demam?” sindirnya, masih dengan nada tajam.
Aku tidak membalas. Hanya menatap Nara-chan sekali lagi—panjang, dalam, dan nyaris seperti ucapan maaf yang tak bisa diucapkan. Lalu aku membalikkan badan, melangkah pergi, membiarkan suara hutan menelan jejakku.
Pertemuan itu selalu meninggalkan bekas. Bukan luka—tapi sesuatu yang menuntut lebih dari apa pun yang bisa kuberi. Namun aku membutuhkannya—seperti aku membutuhkan udara.
Malamnya, saat aku sedang memeriksa laporan malam, Tanaka masuk ke barak, wajahnya pucat.
“Shōi… gadis dari Ninti itu… Senara… adik dari Muzaffar, ia dibawa unit patroli Chūsa Takeyama.”
Kupingku berdenging.
Tubuhku bergerak lebih cepat dari pikiranku.
Jika dia ada di tangan Souta Nii-san, dia bukan lagi manusia—dia akan menjadi objek kebiadaban. Aku tidak akan membiarkan Nara-chan menjadi korban dari kekejaman yang aku tahu persis bagaimana cara kerjanya.
Aku bangkit, seragamku berdesir. Tanpa sepatah kata, aku berlari. Setiap langkahku adalah sumpah untuk menyelamatkannya apa pun risiko yang akan aku terima. Napas malam terasa membakar paru-paruku saat aku menembus kegelapan barak.
Aku tahu di mana kakakku biasa ‘menghibur diri’—tempat paling busuk di markas ini.
Aku melangkah masuk. Tatapanku datar, tapi rahangku menegang.
“Hentikan, Nii-san.” Suaraku rendah, tapi punya getaran yang tajam.
Souta Nii-san menoleh perlahan. Aku mendekat, menunduk ke arah Nara-chan. Sorot matanya menangkapku. Bingung. Takut. Terhina. Tapi juga... sedikit lega.
“Kalau kau ingin main, biar aku duluan.”
Itu adalah kebohongan paling menjijikkan yang pernah keluar dari mulutku.
Dan aku mengatakannya demi menyelamatkan Nara-chan.
Souta Nii-san menyipitkan mata. Ia mendekat, menepuk-nepuk pipi gadis itu dengan dua jari. Membuatku muak.
Lalu, ia mengangkat tangannya, meraih kerah baju kurung Nara-chan. Suara koyakan kecil itu masih terdengar jelas dalam ingatanku.
Jauh lebih keras dari teriakan perempuan mana pun.
Rasa panas menjalar di kulitku—panas karena amarah.
Aku mencoba tidak bereaksi.
Tapi mataku… aku tahu mataku mengkhianati.
Melihat Souta Nii-san memperlakukannya seperti itu, ada bagian dari diriku yang ingin langsung menghunus katana dan menancapkannya ke dada kakakku sendiri.
Tapi aku harus menahan. Aku harus memainkan sandiwara ini. Sandiwara yang paling menjijikkan.
Aku bergerak lebih dekat ke Nara-chan. Memaksakan diri untuk mengambil secuil keringat di pelipisnya dengan ibu jari.
“Bau tanah dan keringat. Mereka lebih... liar. Aku suka tantangannya.”
Keheningan menggantung seperti tombak di udara.