Aku tahu betapa berbahayanya ini. Tapi rasionalitas sudah lama mati. Aku mendekat. Sentuhan itu tidak lagi hati-hati—itu adalah kebutuhan. Ciuman pertama kami beberapa hari sebelumnya saat perayaan Nyangahatn terasa ringan, tetapi kali ini lebih dalam.
Aku harus menghentikan ini. Aku tahu. Tapi hatiku, yang sudah lama membeku karena disiplin militer, kini berteriak menolak diam. Nara-chan... adalah satu-satunya gadis yang bisa mencairkan kekakuanku.
Aku tak tahu siapa yang bergerak lebih dulu—aku atau dia. Yang jelas, ketika aku menarik diri sedikit, wajah Nara-chan sudah memerah sampai ke telinga. Mata kami bertaut, lama, seperti dua orang bodoh yang baru sadar mereka sedang berdiri di depan pintu yang seharusnya tidak pernah dibuka.
Tapi sialnya… aku tidak bisa berhenti.
Aku menciumnya lagi, dengan keberanian yang membuat jantungku menampar dari dalam. Tanganku melingkari pinggangnya. Tubuhnya ringan, hangat… nyata. Bibir kami bertemu—lebih dalam, lebih jujur, lebih benar dari apa pun yang pernah kulakukan. Sesuatu yang selama ini kutahan akhirnya menabrak permukaan.
Dia diam. Gemetar. Tapi… dia membalasnya. Pelan. Ragu.
Dan itu cukup untuk menghancurkan semua pertahananku.
Waktu kehilangan bentuknya. Napasku kacau. Akal sehatku hilang entah ke mana.
“Jangan…” bisiknya.
Aku berhenti, menatapnya dari jarak yang terlalu dekat untuk disebut sopan. Dia ingin menarik diri—aku tahu dari caranya menelan ludah, dari gemetar halus di bahunya.
“Aku harus pergi…” katanya.
Tapi suara itu... lemah. Tak yakin. Bohong.
Ia berbalik, hendak pergi. Tapi aku menahan pergelangan tangannya dengan lembut.
“Jangan pergi dulu.”
Tuhan… aku membencinya karena aku butuh dia sekeras ini. Dan aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa melepaskannya.
Dia tidak bergerak. Tidak menjauh.
Dan itu saja sudah cukup untuk membuat seluruh tubuhku merespons sebelum kepalaku sempat berpikir.
Aku menciumnya lagi. Ciuman ketiga.
Lebih dalam—dan kali ini aku benar-benar hanyut.
Tak ada suara selain ciuman kami yang basah dan panjang, diiringi detak jantung tak karuan. Tanganku menahan punggungnya, tubuhnya melunak dalam pelukanku. Seperti ia sudah lama menunggu ini tanpa berani mengakuinya.
Kami hanya berdiri di sana, terlalu lama, terlalu dekat.
Dalam diam yang menyiksa dan indah pada saat yang sama.
Dunia menyempit—rasanya hanya ada aku dan dia.
Dan keinginan yang tidak seharusnya kami punya.
Malamnya—saat di barak—aku duduk di ranjang dengan mata kosong menatap langit-langit, senyumku tak pernah hilang. Jemariku menyentuh bibirku sendiri, seolah ingin merasakan kembali sentuhannya.
“Bodoh,” gumamku. “Kenapa aku mencium dia lagi? Padahal sudah kubilang pada diri sendiri, ini harus berhenti.”