Muzaffar tahu tentang malam pernikahannya dan ciuman kami. Aku terpojok.
“Aku tidak mempermainkan siapa pun,” ucapku pelan. “Aku... aku mencintai Nara-chan.”
Muzaffar murka, menyerangku dengan brutal. Aku bertahan, menangkis, tanpa menembak.
Tubuhku tersungkur, babak belur. Dan hal paling mengerikan terjadi... Muzaffar merebut pistolku, mengarahkannya ke kepalaku.
“Aku sudah peringatkan kau,” geramnya, membuatku memejamkan mata. Pasrah.
Namun tiba-tiba...
“Bang Zaffar! Tidak!”
Jeritan Nara-chan memekakkan telinga. Ia tiba, berlari sekuat tenaga, menerjang, menabrak lengan kakaknya. Peluru melesat ke langit senja.
Muzaffar membeku. Ia melihat bagaimana Nara-chan berlutut di sampingku, membantuku bangkit, dan memilih untuk melindungiku—tentara Jepang—daripada kakaknya sendiri.
“Kita pergi, Nara-chan!”
Aku meraih tangannya. Kami berlari menjauh, menembus rimbunnya hutan. Aku tahu kami baru saja menghancurkan hati Muzaffar. Tidak ada jalan kembali.
Hubungan kami akan jauh lebih sulit... tapi aku tak peduli.
Aku hanya peduli padanya.
***
Sejak malam perkelahian dengan Muzaffar, hidup kami berdua terpisah oleh pengawasan ketat. Souta Nii-san memastikan aku tak pernah berpatroli sendirian, sementara Muzaffar dan orang-orangnya menjadikan Nara-chan tawanan di desanya sendiri.
Kebebasan kami musnah, dan pertemuan rahasia menjadi mustahil. Sorot mata Muzaffar yang penuh kebencian—setiap kali kami tak sengaja berpapasan—adalah pengingat bagiku, akan bahaya yang mengancam jika aku mendekat.
Suatu pagi di tengah pasar, aku bertemu lagi dengan mereka. Namun ada hal tak terduga terjadi.
Di tengah keramaian, seorang pemuda bernama Sirhan yang merupakan sahabat Muzaffar, tiba-tiba menerobos, berdiri menantang di depanku.
“Lihat siapa ini. Anjing Jepang yang bersembunyi di balik seragamnya.”
Aku berusaha menahan diri, karena tak mau Nara-chan melihatku hilang kendali. Tapi pemuda itu terus menghina, bahkan menampar kepalaku hingga topi militer yang kupakai jatuh ke tanah.
Itu adalah penghinaan fatal bagi seorang perwira.
Seketika, aku mencabut pistol.
Tubuhnya roboh, darah menyembur dari belakang kepala, dan kekacauan meledak.
Muzaffar, yang melihat sahabatnya tewas di depan mata, menyerbu dengan pisau terhunus.
“Bajingan! Akan kubunuh kau!”