Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #144

Memori sang Shōi (Bagian 12)

Sanggau… adalah neraka berlumpur yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun.

Tugas kotor yang Souta Nii-san berikan adalah hukuman mati terselubung. Di hutan basah itu, peluru selalu mencari daging, pedang selalu lapar, dan penyakit lebih ganas dari senjata. Aku hidup di garis depan, dikelilingi bau mesiu, darah, dan kematian yang nyaris menjemputku setiap saat.

Hari-hari, selalu ada satu momen ketika aku berpikir, “Mungkin hari ini aku tidak pulang.”

Tapi setiap kali aku mendengar desingan peluru lewat di dekat telingaku… wajah Nara-chan muncul.

Senyumnya. Tangannya yang menggenggam bajuku di malam terakhir… Suaranya saat ia bilang ia tak akan menyesal jika membawa darahku di tubuhnya.

Janji untuk kembali padanya adalah satu-satunya alasan aku masih bernapas. Satu-satunya pelindungku.

​Di sela malam-malam yang penuh nyamuk dan bau tanah basah, aku menulis puluhan surat.

Surat-surat yang mustahil kukirimkan.

Kalau tidak kutulis, mungkin aku sudah hilang akal.

​[ Nara-chan…

​Aku tak pernah takut pada kematian sebelumnya. Tapi hari ini aku takut. Bukan karena ngeri akan rasa sakitnya, tapi karena aku belum sempat melihatmu lagi.

​Belum sempat bilang kalau aku ingin hidup… bersamamu.

​Tapi, Nara-chan… Maafkan aku. Aku sungguh masih ingin hidup. Untukmu. ]

​Dan pada saat aku mulai berpikir aku bisa selamat dari rasa gila ini… aku dipanggil untuk operasi besar di Mandor.

Di sanalah, tiga bulan setelah aku meninggalkan senyumnya, aku menyaksikan—dan ikut mengeksekusi—Tragedi Mandor.

Hari pembersihan terbesar.

Tragedi yang sampai sekarang masih menusuk tulangku.

​Beberapa malam sebelumnya, saat memimpin unit penangkapan di desa Muzaffar, aku merasa lega karena rumah itu kosong. Aku yakin ia telah mendengar peringatanku dan membawa Nara-chan pergi. Aku berpikir mereka aman.

​Namun, di hari eksekusi besar, duniaku runtuh. Di antara barisan korban yang berlutut dengan kepala tertutup kain hitam, ada satu tubuh yang terasa familier.

​Aku berjongkok, satu lutut menyentuh lumpur Mandor yang dingin. Tanganku gemetar saat membuka penutup kepala itu perlahan.

Sesuatu dalam diriku langsung retak.

Tatapan itu…

Tatapan seorang pria yang pernah ingin membunuhku—kini tampak pasrah, hancur, dan entah bagaimana, lega melihatku.

Tak ada kata.

Hanya saling memandang.

Dua musuh yang tiba-tiba saja saling mengerti.

Ketika akhirnya ia bicara, suaranya kasar, pelan, hampir putus.

“Nara selamat… untuk sementara. Kau tenang saja.”

Aku hampir roboh.

Tapi sebelum kuucapkan apa pun, ia menatapku lebih dalam.

Kalimat berikutnya merobek seluruh duniaku yang tersisa.

“Jaga dia, Takeyama… Dia tak punya siapa pun lagi.”

Lihat selengkapnya