Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #145

Memori sang Shōi (Bagian 13)

Beberapa hari setelah aku tinggal di pondok, Lukas, Ero, dan Jau mendatangiku. Mereka melihatku membunuh enam prajurit, melihat aku berburu dengan cara yang ‘berbeda’, dan mereka ingin tahu rahasianya.

​“Kami ingin kau mengajari kami cara bertarung... dan cara berpikir sepertimu. Jika bisa belajar darimu, kami akan bisa melindungi kampung dari musuh.”

​Aku menolak. Aku hanya seorang prajurit gagal, bukan guru. Namun mereka tetap menatapku seolah aku ini seseorang yang masih bisa diandalkan—dan itu justru membuatku makin gelisah.

Dalam hati, aku masih merasa konyol—mantan Shōi yang bahkan tak bisa menyelamatkan pasukannya sendiri kini diminta mengajari orang lain. Meski hati kecilku mengatakan… menjadi guru jauh lebih manusiawi daripada menjadi algojo.

​Tapi Lukas memberikan penawaran yang tak bisa kutolak—mempertemukanku diam-diam dengan Nara-chan.

Aku senang karena bisa melepas rindu meski hanya sebentar. Nara-chan ikut membujuk agar aku mau melatih para pemuda Dayak itu. Matanya yang lemah namun tegas menatapku.

“Aku tidak mau anakku lahir tanpa pelindung,” bisiknya, “Jadilah guru bagi mereka, Renji. Ajari mereka cara bertahan hidup. Karena… hanya itu yang bisa menyelamatkan kita.”

​Malam itu, aku melihat mata Nara-chan, dan aku melihat mata Muzaffar. Aku mengerti.

​Aku bukan lagi Shōi. Aku adalah Sensei mereka. Penjaga. Dan demi anak kami, aku akan melakukan yang terbaik.

Itu adalah kesepakatan yang kupilih— mengajarkan cara bertarung dan cara berpikir seorang prajurit. Mereka mengajarkanku cara memperbaiki diri, cara menghormati hutan, dan cara melupakan seragamku.

“Perhatian pada gerakan lawan,” kataku, suara parau tapi tegas. “Jika kau lengah, bahkan seekor babi bisa mencabikmu.”

Pelatihan itu adalah pengalih perhatian yang kubutuhkan. Melihat tekad mereka—melihat mereka belajar untuk melindungi diri dan kampung mereka dari bahaya—membuatku merasa, untuk pertama kalinya, bahwa aku berguna.

Aku bukan lagi prajurit yang membunuh atas nama Kekaisaran, tapi guru yang berjuang atas nama cinta.

“Aku tak bisa kembali ke Jepang. Aku bukan lagi algojo Kekaisaran. Aku milikmu, Nara-chan. Aku milik anak kita.”

Hari-hari di pondok tepi desa itu lambat, dingin, tapi damai. Aku mengajar mereka di siang hari. Di malam hari, saat api tungku menari di pondokku, aku duduk sendiri dan menulis catatan mental—kilatan memori yang menghantui di Mandor, bayangan Muzaffar, dan Nara-chan yang tersenyum lemah saat aku membawanya keluar dari perang.

Pagar yang membatasi aku dan kampung perlahan memudar.

Ketika perut Nara-chan semakin membesar, para tetua akhirnya mengizinkanku masuk. Aku diterima bukan sebagai Tentara Jepang, tapi sebagai penjaga dan calon ayah. Mereka melihat bagaimana aku mencintai Nara-chan, dan mereka melihat bagaimana aku ikut melindungi kampung ini. Mereka melihat tekad, bukan ras.

Lihat selengkapnya