Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #146

Memori sang Shōi (Bagian 14)

Aku tidak menghitung hari. Di penjara Pontianak, waktu tidak bergerak—hanya tubuhku yang makin rusak, dan pikiranku yang membusuk di antara bau besi dan darah kering.

Yang membuatku hancur bukan cambuk, bukan tulang rusuk yang retak, bukan ancaman hukuman mati.

Bukan itu.

Yang menghancurkanku adalah…

Nara-chan tidak pernah datang.

Tidak sekali pun.

Setiap derit pintu besi membuatku menoleh seperti binatang lapar, berharap melihat wajahnya—marah, menangis, apa saja. Aku akan menerima semuanya. Aku pantas dicaci, pantas dibenci.

Tapi pintu itu selalu menampilkan hal yang sama: prajurit asing bermata dingin atau Salim dengan tatapan puas, seolah ia baru saja memenangkan permainan.

Dan akhirnya aku mengerti.

Ia marah.

Tentang Mandor.

Tentang kebenaran yang tidak pernah kuucapkan dengan mulutku sendiri.

Suara terakhir Muzaffar masih menggerogoti tidurku yang tak pernah utuh. Tatapannya lebih mematikan daripada peluru.

Aku pengecut.

Berbulan-bulan hidup di sisinya, tapi tidak pernah punya keberanian untuk jujur.

Kalau Nara-chan membenciku… itu adil.

Kalau ia tak mau melihatku lagi… pantas.

Salim bukan musuhku.

Musuhku adalah diriku sendiri.

Sekarang, aku hanya bisa menyesali semuanya. Kesetiaanku yang salah, kebisuan yang kubawa.

Ketika hari sidang tiba, aku tidak merasa apa-apa. Kaki dan tanganku dingin seperti bangkai, tapi hati ini bahkan sudah beku lebih dulu.

“Renji Takeyama,” kata Ketua Majelis Hakim Sekutu. “Kau telah dinyatakan bersalah atas kejahatan perang tingkat tertinggi — termasuk eksekusi tanpa prosedur hukum, penyiksaan tahanan, serta keterlibatan langsung dalam korban sipil selama operasi pendudukan di Borneo.”

“Atas kejahatan-kejahatan tersebut,” katanya, suaranya kini berat, “pengadilan militer ini menjatuhkan hukuman mati dengan regu tembak.”

Aku menunduk.

Bukan karena takut mati.

Tapi karena aku sadar—

Aku tidak akan lagi melihat mata Nara-chan.

Aku tidak akan mendengar suara Haruki menangis.

Tapi yang jauh lebih menakutkan dari semua itu adalah... Nara-chan tidak tahu seberapa besar aku mencintainya, seberapa besar ia telah menjadi segalanya bagiku.

Satu-satunya hal yang masih bisa kulakukan adalah menulis surat yang entah akan sampai atau tidak.

 

“Nara-chan...

Bolehkah pendosa sepertiku punya sebuah doa atau keinginan di saat-saat terakhir hidup ini?

Aku tidak meminta pengampunan, tidak juga kebebasan.

Aku hanya ingin... diberikan kesempatan untuk bertemu dan mengenalmu lagi dari awal.”

Lihat selengkapnya