Aku tidak pernah menyukai bunyi hujan. Sejak perang, setiap rintiknya hanya mengingatkanku pada suara darah yang menetes ke tanah. Tapi pagi ini, di dermaga kecil itu, aku lebih membenci sunyi. Karena sunyi berarti aku harus mendengar hatiku sendiri hancur pelan-pelan.
Aku berdiri di papan kayu basah, jariku gemetar menahan dingin—atau mungkin bukan dingin, tapi rasa takut kehilangan. Souta Nii-san di belakangku, wajahnya keras seperti baja, tapi aku tahu ia pun sedang menahan banyak hal. Namun mataku tak bisa lepas dari sosok yang berdiri hanya beberapa meter di depanku. Nara-chan.
Ia tidak menangis, tidak meraung. Tapi matanya merah, basah, menyimpan lautan air mata yang ia tahan dengan seluruh kekuatannya. Haruki berdiri di sampingnya, dengan tangan kecil yang menggenggam ujung kain ibunya. Dan aku… aku hanya bisa memandang, seolah dengan tatapan itu aku bisa mengukir wajah mereka selamanya di dalam kepalaku.
Kakiku berat. Aku ingin berlari menghampirinya, ingin memeluknya, ingin mengatakan aku menolak kapal ini, menolak perintah Souta Nii-san, menolak hidup tanpa dirinya. Tapi aku tahu, itu artinya mati. Bukan hanya aku—Nara-chan pun akan ikut dikorbankan. Anak-anak kami akan tumbuh tanpa nama, tanpa perlindungan, hanya membawa stigma.
Aku menahan napas ketika akhirnya aku melangkah.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah cepat.
Aku sampai padanya. Aku peluk dia seerat-eratnya, sampai bahuku terasa sakit. Tubuhnya bergetar, tapi ia tetap tidak menangis. Aku cium bibirnya—lama, dalam, seakan ingin menyesap seluruh kenangan kami agar tidak hilang saat laut memisahkan.
Lalu aku berlutut di hadapan Nara-chan-ku, menempelkan kening ke perutnya yang masih rata. Aku tahu di dalamnya ada nyawa kecil lain, hadiah terakhir yang sempat aku titipkan.
“Kalau perempuan… beri dia nama Minami,” bisikku. Suaraku pecah. Air mataku jatuh membasahi kainnya.
Aku mencium Haruki setelahnya. Bocah kecil itu menatapku dengan mata jernih, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku memegang bahunya, menatapnya dalam-dalam.
“Jaga Okaa-san, Haru-chan,” bisikku. Dan ketika ia mengangguk, polos, aku hampir roboh di tempat.
Aku berdiri lagi. Mendekapnya erat. Pelukan terakhir, seolah aku ingin menyatukan jiwaku dengannya agar tak pernah terpisah. Aku hirup wangi rambutnya, aku hafalkan detak jantungnya. Dan di dalam dekapan itu, tepat di telingaku, ia berbisik lirih—nyaris tak terdengar, tapi menyambar di dadaku seperti petir.
“Selamat jalan… Shōi.”
Tubuhku beku. Nama pangkat itu, yang dulu menarikku ke Borneo, kini menjadi alasan aku harus melepaskannya.
Ah, Nara-chan… kau tahu betul kata itu adalah belengguku. Pangkat yang menuliskanku sebagai algojo dalam sejarah, pangkat yang menodai tanganku dengan darah yang tak pernah kuminta, tapi juga pangkat yang menuntunku menyeberangi lautan hingga akhirnya menemuimu di tanah yang asing ini.