Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #149

Memori sang Shōi Bagian 17

Aku menelusuri tulisan-tulisan itu, halaman demi halaman.

Aku akan mencatat segalanya—setiap bulan usia kehamilan Nara-chan, meskipun aku tidak di sana.

Dan itu pasti kulakukan… setiap malam.

Pagi Berikutnya...

Saat sarapan, Okaa-san memperhatikanku diam-diam.

“Kau tidur?” tanyanya.

Aku tersenyum kecil. “Iya.”

Padahal tidak.

Souta Nii-san hanya menghela napas. “Kalau kau butuh bicara—”

“Tidak apa-apa, Nii-san.”

Ia berhenti. Menatapku lama.

“… Baiklah.”

Aku tahu dia tidak percaya. Tapi aku juga tahu dia memilih menghormati dinding yang kubangun.

Aku harus kuat.

Aku tidak boleh menyeret kesedihanku ke rumah ini.

Mereka sudah kehilangan Ayah.

Mereka tidak boleh kehilangan aku juga—walaupun aku sudah kehilangan setengah jiwaku di Borneo.

Aku hanya menunduk, menggenggam sumpit.

Aku akan menyimpannya sendiri, sampai aku cukup kuat untuk kembali.

**

Di Jepang, aku hidup di antara rutinitas. Rutinitas adalah belenggu, tetapi juga jangkar. Pagi hari, aku adalah buruh kasar di pabrik kecil—menghancurkan dan membangun kembali puing-puing perang. Malam hari, aku adalah anak yang pulang, makan seadanya di rumah peninggalan Ayah.

Pagi selalu datang dengan bunyi mesin pabrik yang memekakkan telinga. Begitu aku masuk gerbang, aroma oli dan besi panas langsung menempel di kulit.

Sudah berbulan-bulan—dan tetap saja aku belum terbiasa.

“Ayo, Takeyama!”

Suara mandor tua memanggil.

Aku mengangguk, “Hai.”

Kerja sebagai buruh sekaligus mekanik membuat tubuhku terus bergerak, tapi pikiran tetap saja diam di satu tempat—di halaman rumah kayu itu… di wajah Nara-chan… di tawa Haruki yang bahkan sudah mulai kulupakan suaranya.

Sore hari, saat semua buru-buru pulang untuk makan malam dengan keluarga mereka, aku justru berjalan pelan ke arah stasiun.

Aku memilih Stasiun Ueno. Bukan Dermaga. Aku tak berhak menginjakkan kaki di dermaga sampai aku punya tiket kembali.

Dermaga adalah tempat kepulangan.

Stasiun adalah tempat menunggu.

Dan aku masih menunggu.

Aku duduk di bangku kayu yang sudah mulai retak, memperhatikan laju kereta yang membawa orang pada tujuannya. Sementara aku, tujuanku terhambat oleh lautan.

“Belum sekarang,” gumamku hampir setiap saat. “Aku akan ke dermaga saat waktunya tiba.”

Dulu aku menangis hampir setiap hari di sini. Tahun pertama adalah yang terberat. Setiap malam, isakanku pecah, memeluk foto itu sampai kain kimononya ikut basah.

Lihat selengkapnya