Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #150

Memori sang Shōi (Bagian 18)

Pada tahun kelima, ketakutan baru datang.

Apa Nara-chan sudah menikah lagi?”

Bisik itu selalu muncul setiap malam.

Di malam terakhir kami bersama, Nara-chan bilang akan menjadikanku cinta terakhirnya. Tidak ada lelaki lain.

Tapi bagaimana kalau Nara-chan ingkar?

Bagaimana kalau cinta sebesar apa pun kalah oleh kesepian dan kesulitan hidup?

Bagaimana kalau janji perpisahan kami justru memaksanya mencari perlindungan pada lelaki lain?

Bagaimana kalau Haruki dan Minami butuh ayah dan aku bukan pilihan yang realistis?

Tanganku gemetar setiap kali memikirkan itu.

Meskipun Nara-chan bilang hanya aku satu-satunya, aku tetap manusia. Aku takut pada waktu.

Tahun kesembilan, mimpi buruk datang satu paket dengan rasa sesak di dada.

Dalam mimpiku, Haruki sudah remaja. Ia memanggil seorang lelaki yang tak kukenal.

“Ayah.”

Aku selalu bangun dengan keringat dingin.

“Tidak… bukan begitu…”

Aku memegang foto kecil itu erat-erat.

“Haruki… itu aku. Aku ayahmu.”

Di tahun kesebelas. Tahun 1957.

Rasanya dunia tidak lagi menembakkan peluru.

Kapal-kapal mulai kembali berlayar dengan lebih aman.

Dan tabunganku… mungkin cukup untuk bertahan setahun, mungkin dua.

Di titik itu, aku tidak tahan lagi.

Suatu malam aku pulang dan langsung sujud di kaki Okaa-san.

Tanomu… izinkan aku pulang, Okaa-san,” suaraku pecah. “Aku harus kembali. Aku harus melihat mereka.”

Okaa-san menggenggam bahuku, menangis tanpa suara. Tapi ia mengangguk berkali-kali lalu mencium keningku.

Keesokan paginya, giliran Souta Nii-san yang kudatangi.

Ia menatapku dari beranda.

Aku berlutut. Kepalaku menyentuh tanah, di hadapan satu-satunya orang yang memaksaku hidup keras.

“Nii-san,” suaraku bergetar. “Aku memohon. Izinkan aku kembali. Tidak akan ada penangkapan. Tidak akan ada hukuman mati. Aku sudah menunggu selama 11 tahun. Aku tidak bisa hidup lebih lama lagi tanpa mereka.”

Souta Nii-san menatapku lama. Ia tak hanya melihat tekad itu, tetapi ia juga melihat kekosongan yang ia ciptakan saat menarikku paksa dari Indonesia.

Angin musim semi bergerak pelan, seakan ikut menahan napas.

Akhirnya ia berlutut, menyentuh bahuku.

“…Kau sudah seperti raga tanpa jiwa selama ini.”

Ia menghela napas panjang.

“Pergilah. Temui keluargamu.”

Lihat selengkapnya