“Ini milikku... milik kami,” gumamku pada petugas arsip itu. “Apa aku boleh... membawanya pulang?”
“Silakan, Mbak. Kalau emang udah ketemu sama pemiliknya, kami nggak perlu terus menyimpannya di sini.”
Aku membawa buku itu keluar dari gedung arsip dengan langkah yang terasa terlalu berat untuk tubuhku. Dunia di luar tetap berjalan seperti biasa—mobil melintas, orang berbicara, matahari bergeser.
Tapi sore itu juga, aku pergi menuju makam seseorang yang seharusnya tahu pertama kali tentang hal ini—Senara.
***
Matahari sore menembus pepohonan, menyinari nisan yang sederhana namun penuh kenangan.
Aku berdiri di hadapan makam Obaa-chan. Makamnya sederhana, batu nisan polos. Ia dimakamkan di Pontianak, tempat ia menua, selalu menatap cakrawala.
Aku berlutut di rerumputan basah. Tanganku memegang buku catatan itu, buku yang seharusnya ia pegang.
“Obaa-chan…” suaraku pecah. Aku menangis pilu, air mata bercampur tanah.
“Ojii-chan Renji pulang. Dia nggak pernah meninggalkanmu. Dia nggak pernah melupakan kita, Obaa-chan.”
Aku meletakkan buku catatan itu di atas batu nisan. “Dia datang. Dia naik kapal. Tapi dia tenggelam di Laut Natuna, hanya tinggal satu malam lagi akan sampai ke dermaga ini. Dia meninggal sambil memeluk buku ini—buku yang penuh dengan janji-janji cintanya padamu, penuh dengan nama Haruki dan Minami.”
Aku terisak hebat, sampai harus menggigit punggung tanganku sendiri. Kutekan kepala ke batu nisan yang dingin.
“Hanya saja kita yang kurang beruntung untuk menyambutnya datang. Dia mencintaimu lebih dari nyawanya, seperti yang selalu ia katakan.”
Jemariku menyentuh tulisan tangan Ojii-chan Renji, rasanya seperti merasakan detak jantungnya yang dulu selalu berdetak untuk kami. Buku itu bukan sekadar kertas dan tinta—ini adalah hatinya. Setiap goresan, setiap kata, adalah janji yang ia pegang hingga detik terakhir.
“Aku minta maaf karena kita baru tahu sekarang.”
Kupejamkan mata. Sekarang aku mengerti kesedihan Obaa-chan yang tak tersembuhkan itu. Ia tidak bersedih karena ditinggalkan, tetapi karena ia tahu dia tidak ditinggalkan. Ia mencintai seseorang yang begitu setia… sampai semesta sendiri tidak sanggup memberinya akhir yang adil.
“Obaa-chan… Obaa-chan beruntung sekali… dicintai seperti itu. Cinta yang menempuh lautan, yang menolak kematian, yang mengorbankan sebelas tahun hidupnya, dan akhirnya mengorbankan dirinya sendiri untuk membuktikan kesetiaan.”
Aku duduk lama dengan ponsel di tangan.
Layarnya menyala, lalu mati. Menyala lagi.
Nama Ojii-san Haruki ada di sana—tersimpan sejak lama, tapi entah kenapa terasa asing sekarang. Seolah jarak darah tidak pernah sejauh ini sebelumnya.
Aku membuka kolom pesan.
Mengetik.
“Ojii-san…”
Kursor berkedip. Aku menatapnya seperti menatap jurang kecil yang tak berisik tapi dalam.
Kuhapus.
Mengetik lagi.
“Ojii-san, aku menemukan sesuatu tentang Ojii-chan Renji.”
Terlalu ringan.
Terlalu netral.
Seolah ini hanya kabar biasa yang bisa ditaruh di antara jadwal makan dan cuaca.
Kuhapus lagi.