Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #154

Bunga yang Akhirnya Mekar (Bagian 1)

Pontianak, 2015

Surat itu seharusnya ikut terkubur bersama perang.

Tapi sore itu, cucuku menemukannya dari balik anyaman bambu tua.

Kertasnya lusuh, beraksara Jepang, berbau lembap seperti kayu yang terlalu lama menyimpan rahasia.

Zalya membacanya pelan.

Watashi wa ikite iru toki ni, jibun no inochi o seotte.

Kimi no tame ni shinda.

[Aku hidup dengan menanggung nyawaku sendiri.

Tapi mati demi hidupmu.]

Tangannya bergetar saat melipat kembali surat itu. Matanya basah, tapi ia tidak menangis. Tidak semua orang seusianya mampu memahami luka yang diwariskan generasi sebelumnya—namun sore itu aku melihatnya. Luka yang tidak bisa dijelaskan, hanya dirasakan.

“Ojii-san…” suaranya pecah. “Kenapa semua ini baru terbuka sekarang?”

Aku tidak menjawab.

Panggilan itu—Ojii-san—selalu mengingatkanku pada seseorang yang tak pernah sempat mendengarnya. Seseorang yang dulu berharap bisa dipanggil Ojii-chan, tapi hanya nama belakangnya yang sempat diwariskan.

Okaa-san berjalan mendekat, membawa bingkai foto usang. Langkahnya pelan, napasnya berat.

“Surat-surat itu…” katanya lirih. “Dia sembunyikan. Dan dia memberitahuku tempatnya… malam sebelum pergi.”

Tatapannya kosong, seolah kembali ke hari ketika laut memisahkan sejarah, keluarga, dan cinta yang tak boleh pulang.

Tangis Zalya akhirnya jatuh—membasahi aksara yang mulai pudar. Itu bukan tangis biasa. Itu jeritan jiwa yang baru menyadari betapa panjang sunyi yang diwariskan kepadanya.

Aku mengenal surat itu.

Bahkan sebelum Zalya lahir.

Puluhan tahun lalu, kertas yang sama pernah mengguncang hidup seorang perempuan. Ibuku.

Dan aku—

Adalah anak yang menyaksikan ibunya runtuh, tanpa tahu harus menyalahkan siapa. Takdir, sejarah, atau lelaki yang namanya tak pernah boleh disebut.

Setiap malam, Okaa-san duduk membelakangiku di ruang tamu yang remang. Bahunya naik turun. Di tangannya selalu ada selembar kertas yang tak pernah ia perlihatkan padaku. Tapi aku tahu—ia membacanya.

Dan selalu berhenti di tengah.

Seolah ada satu kalimat yang terlalu berat untuk diselesaikan.

Suatu malam, aku memberanikan diri.

“Okaa-san?”

Ia tersentak, menyembunyikan kertas itu di balik punggungnya.

“Haru-chan… kau terbangun?”

“Okaa-san sedang apa?”

Ia tersenyum tipis. Matanya basah.

“Tidak apa-apa. Tidurlah lagi.”

Aku tidak pergi.

“Okaa-san menangis. Itu surat dari siapa?”

Ia menghela napas panjang, lalu memelukku erat.

“Renji…” bisiknya. Seperti menyebut nama yang tak boleh hidup. “Surat ini… dari Renji.”

Malam itu, untuk pertama kalinya aku mendengar nama itu disebut kembali.

Nama yang dilarang.

Lihat selengkapnya