"Asalamualaikum, Umi, Abi ...." Zahra berteriak saat memasuki rumah, mencari kedua orang tuanya untuk memberitahu kabar gembira untuk mereka.
"Waalaikumussalam, kamu kebiasaan, deh, suka teriak-teriak," ujar Asma—mama Zahra—yang baru saja keluar kamar.
Zahra berhambur memeluk Asma dengan bahagia. Tak lupa, amplop coklat pemberian Abidzar juga masih ia genggam.
"Ada apa? Putri Umi kayaknya lagi bahagia." Asma mengurai pelukan, keningnya berkerut melihat putrinya yang tak menghilangkan senyum.
"Abi mana?" Bukannya menjawab, Zahra justru mencari keberadaan sang ayah.
Mendengar itu raut wajah Asma berubah, ia tampak mempurung hingga membuat Zahra khawatir.
"Umi, Abi ...."
Tanpa perlu Asma menjelaskan pun Zahra sudah tahu apa yang terjadi. Melihat bagaimana Asma menangis sudah menjadi jawaban bahwa ayahnya sedang tidak baik-baik saja.
Zahra berlari memasuki kamar orang tuanya. Matanya memanas hatinya remuk seakan diremas. Melihat bagaimana sang ayah kini tak lagi berdaya di atas kasur.
"Abi ...." Zahra menghampiri sang ayah dengan sendu. Air mata sudah tidak bisa lagi ia tahan. Perempuan itu lantas memeluk Farhan—ayahnya.
"Abi harus sembuh ... hiks, maafin Ara karena baru pulang, hiks."
Zahra melepas pelukan sembari menghapus air mata. Sedangkan Farhan hanya menyuguhkan senyum. Tak bisa dipungkiri bahwa Farhan juga tak ingin melihat putrinya satu-satunya itu menangis. Hatinya seakan disayat-sayat oleh sebilah pisau tanpa henti. Dan cara menyembuhkannya hanya satu, yaitu ... dengan melihat putrinya tak menangis lagi.
"Jangan menangis, permata berharga Abi harus kuat. Ingat, rasa sakit ini hanya ujian untuk menghapuskan dosa. Sebentar lagi, insyaAllah Ayah sembuh. Doakan, ya, Sayang."
Farhan mengidap penyakit jantung bawaan sehingga ia harus melakukan perawatan jalan bahkan bisa jadi, ia harus melakukan transplantasi.
Zahra mengangguk, "Iya, Abi."
Pondasi yang Asma pertahankan akhirnya roboh, wanita paruh baya itu segera berlari keluar kamar saat tangisannya semakin pecah. Seolah mendapatkan firasat mungkin suaminya tidak akan hidup lebih lama lagi.
"Abi mau tahu, apa yang kamu bilang sama Umi?" tanya Farhan mencoba terseyum.
Zahra menaikkan amplop coklat tersebut, seraya berkata, "Kak Abidzar, Bi, Kak Abizar mempunyai niat baik mengajak Zahra taaruf. Apa Abi setuju?"
Hening, Farhan tak menjawab cukup lama. Ia berpaling menatap langit-langit kamar. Seolah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Abi."
Farhan tersadar saat merasakan sentuhan di tangannya. Farhan lantas menoleh menatap sang putri, kemudian mangatakan sesuatu yang berhasil mematahkan hati Zahra.
"Zahra, jangan dulu memberi keputusan, ya, Abi masih perlu waktu untuk mempertimbangkan."
****
"Jadi, Abizar ngajak kamu taaruf?" tanya Amira seraya mengulurkan susu kotak kepada Zahra.
Setelah susu kotak tersebut beralih tangan, segera Amira duduk di samping Zahra. Perempuan itu ikut menekuk wajahnya, menahan sebuah rasa yang tak bisa ia ungkapkan. Karena terkadang, membuat orang-orang yang ia sayang bahagia selalu menjadi prioritasnya. Tak peduli, meski hatinya terluka.
"Iya, tapi Abi belum kasih restu." Zahra menggigit bibir menahan tangis. Padahal Zahra sangat mencintai Abizdar dan ia mempunyai impian andai suatu hari, pemilik suara merdu saat mengaji itu akan menjadi imamnya.