Zahra menunduk seiring pandangan keduanya terlepas. Senyuman tak luput ia ukir. Sebenarnya Zahra tahu ini tidak benar dan mungkin Abizar juga merasakan hal yang sama, terlihat bagaimana raut wajah lelaki itu berubah muram lalu berdiri tanpa berkata apa-apa.
"Um, Zahra, saya harus segera pergi, terima kasih untuk jawabannya, dan saya akan selalu menunggu."
Zahra menjawab dengan senyuman, lalu menatap kepergian Abidzar dari hadapan. Salah satu ujian dalam cinta memang seperti ini, tidak ada yang mudah sedangkan bersabar adalah jalan keluarnya.
Tiba-tiba dering ponsel di dalam tasnya terdengar, bergegas Zahra mengambilnya, kalau-kalau yang menelpon adalah Asma—mamanya. Seiring ponsel tersebut sudah menempel di daun telinga dan sebelum Zahra mengucapkan salam, suara tangisan di seberang sana lebih dulu menyambut.
Bagaikan ada badai yang menerjang, tubuh Zahra seketika menegang. Rotasi dunia seakan terhenti membuat suasana terasa sunyi. Allahu akbar, bahkan Zahra tidak mampu lagi menahan tubuhnya hingga ia terjatuh ke atas rumput.
Kabar yang baru saja dirinya dengar telah berhasil mematahkan salah satu benang kebahagiaannya.
"Zahra, ada apa? Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya seseorang menerobos gendang telinga, berhasil membuatnya menoleh. Matanya berair hingga tak mampu menatap jelas seseorang itu, tetapi Zahra tahu dia siapa. Tentu saja Abidzar, lelaki bermata teduh itu masih di sini rupanya.
Dengan suara parau, Zahra bertanya, "Kakak, mau anterin aku ke rumah sakit?"
****
"Kemari, Nak, ada yang ingin om bicarakan," pinta Farhan dengan suara serak.
Sementara itu, Ali dan Asma bergegas menghampiri tetapi tak lupa memberikan raut khawatir. Dan hal itu tak luput dari pandangan Farhan, sehingga pria berusia empat puluh lima tahun itu tersenyum seraya menghampus air mata Asma.
"Kehidupan bukan hanya di dunia, tetapi juga ada kehidupan abadi setelah ini dan kita akan jauh lebih bahagia di sana, Asma"
Perkataan Farhan berhasil membuat tangisan Asma semakin tersedu. Seakan yang diucapkan oleh suaminya itu adalah salam perpisahan.
"Jangan menangis, Asma, kamu juga tahu bahwa perpisahan adalah warna kehidupan yang akan dilewati setiap manusia." Bahkan dengan senyuman Farhan berkata itu, membuat Ali yang juga menyaksikan, kembali merasakan sakitnya sebuah kehilangan.
Jika saja Ali bisa, maka Ali akan pergi dan tidak ingin menangani Farhan, karena bagaimana pun Ali tahu bagaimana rasanya kehilangan, dan Ali tidak mau andai ia merasakannya lagi.