Cinta Untuk Hasna

Dea Ayusafi
Chapter #5

Tentang Rasa

"Aku tidak akan pernah berharap lebih, jika saja aku tahu, aku bukanlah orang yang kamu inginkan untuk menjadi pendamping hidupmu. Mungkin semuanya tidak akan serumit ini."

***

Reni tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa mendengar cerita dari Hasna. Sedangkan Hasna, perempuan itu sekarang tengah fokus mengendarai mobil menyusuri jalanan menuju salah satu mall yang ada di kota Palembang.

“Menurut Mbak Reni aneh banget, kan? Aku sama Raafi saja baru saling mengenal. Masa orang lain mengira aku calon istrinya Raafi? Nggak lucu!” keluh perempuan berhidung mancung itu beberapa saat kemudian.

Reni menatap Hasna dengan sorot mata penuh semangat, “Menurut mbak, Mas Raafi itu orang baik. Dan kayaknya dia memang suka sama kamu. Mbak sangat berharap kamu sama Mas Raafi benaran berjodoh.”

Mendengar kata-kata itu membuat Hasna spontan terbatuk-batuk. Buru-buru Reni mengusap pundak sepupu yang merangkap atasannya itu. “Maaf, Hasna. Mbak nggak maksud mengagetkanmu.”

Hasna menganggukkan kepala. “Nggak apa-apa kok. Lagi pula aku nggak mau kepedean. Bisa saja, kan, tante Evi salah orang?”

Kini giliran Reni yang menganggukkan kepala. Ambil aman untuk saat ini. Sudah cukup ia menggoda atasannya sejak meninggalkan rumah Shinta. Benar-benar lucu melihat tingkah Hasna yang serba salah. Dan dalam diam ia berharap akan ada benih-benih cinta yang tumbuh. Reni tidak sabar menantikan hari itu tiba.

Meskipun Hasna tidak pernah menceritakan tentang perasaan yang ia rasakan pada Farhan. Sebagai seorang yang sudah cukup lama mengenal Hasna. Dengan hanya melihat mimik wajah perempuan itu kala berjumpa dengan Farhan atau bercerita tentang pria itu. Reni bisa menebak bahwa ada perasaan lebih dari sekadar seorang teman yang Hasna rasakan. Sayangnya, perempuan itu lebih memilih menahan rasa sakitnya seorang diri. Terkadang cinta itu benar-benar rumit.

Beberapa saat kemudian, Hasna membelokkan mobilnya masuk ke dalam pintu masuk Palembang Square Mall. Setelah memarkirkan mobilnya, Hasna mengajak Reni bergegas mencari kado untuk pernikahan kakaknya Raafi. Kedua perempuan itu masuk ke dalam toko khusus menjual tas dan sepatu.

Ketika mereka berdua tengah asyik memilih hadiah yang cocok untuk Shinta, ponsel Hasna berdering. Buru-buru Hasna mengeluarkan ponselnya dari dalam tas ransel miliknya. Perempuan itu memang lebih senang bepergian menggunakan tas ransel. Jika ditanya apa alasannya, ya, karena lebih banyak muatannya. Terutama ia bisa menyimpan mukenah parasut di dalam sana.

Satu panggilan masuk. Ketika melihat nama yang tampil di layar tersebut Hasna termenung. Bingung mau menjawab telepon itu atau tidak. Reni yang penasaran mengintip layar ponsel Hasna. Sebab ia penasaran apa geranga yang membuat Hasna seperti mati kutu saat ini.

Mas Farhan.

Kini giliran Reni yang tertegun. Tapi buru-buru ia bersikap normal seolah tidak tahu apa-apa. “Kenapa nggak dijawab?”

Hasna mengerjap. “Oh, iya. Aku tinggal sebentar angkat telepon dulu, ya.”

Reni menganggukkan kepala seiring dengan berlalunya Hasna meninggalkan dirinya.

Setelah berada di luar toko. Dengan berat hati Hasna menjawab telepon itu. “Asalamu'alaikum, Mas Farhan.”

“Walaikumsalam, maaf menganggumu, Hasna. Kamu lagi di mana sekarang? Masih di galeri atau sudah pulang?” tanya Farhan di seberang sana.

Hasna mengigit bibir bawah. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa cemas. Terlebih lagi, jauh sebelum kabar Farhan akan menikah, mereka tidak saling memberi kabar. “Aku lagi di PS Mall. Memangnya ada apa, Mas?”

“Kita bisa bertemu? Mungkin sekitar 30 menit lagi aku akan sampai di sana.”

Hasna melirik jam digital di ponselnya, sudah jam empat sore. Lalu ia melirik Reni yang masih sibuk melihat-lihat isi toko di sana. Ada urusan apa Farhan ingin bertemu dengannya saat ini? Padahal seminggu setelah pernikahan kakaknya Raafi, giliran Farhan dan Nayya yang akan melangsungkan pernikahan. Hasna mencoba menjernihkan pikirannya. 

Dengan susah payah Hasna mengiyakan permintaan Farhan. “Baiklah.”

“Nanti aku kabari kalau sudah sampai. Asalamu'alaikum.”

“Walaikumsalam.”

Dan setelah telepon itu berakhir, Hasna menghembuskan napas panjang dengan susah payah. Sesuatu di dalam dadanya kini kembali berdebar. Entah apa itu, luka ... ataukah rasa bahagia?

Dari kejahuan Reni memperhatikan Hasna yang tampak gusar. Hatinya bertanya-tanya, hal apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa berpikir dua kali, Reni memilih keluar dari dalam toko dan menghampiri Hasna.

“Ada apa, Hasna?” tanya Reni. 

Lagi, untuk kesekian kalinya Hasna menghela napas gusar sore itu. “Mas Farhan mau ke sini.”

Lihat selengkapnya