“Asalamualaikum, Hasna. Aku senang sekali kamu datang.” Farhan menyunggingkan senyum tulus.
Hasna membalas senyuman itu. “Walaikumsalam. Berarti jadi traktir saya dong.”
Raafi tertawa renyah, meskipun tawanya itu leyap begitu cepat ditelan hiruk-pikuk yang ada di sana. Dengan gerakan cepat Raafi mengambil alih paper bag yang Hasna bawa. “Biar aku bantu bawakan.”
Mendapatkan perlakuan seperti itu membuat Hasna serba salah. “Terima kasih, Raafi.”
“Sama-sama, Hasna. Ayo kita cari tempat duduk. Sebentar lagi acara resepsinya akan segera dimulai,” ajak Raafi.
Acara akad pernikahan Shinta dan Randy sendiri berlangsung jam delapan pagi tadi. Hasna memang sengaja memilih untuk datang di acara resepsinya saja. Hasna mengiringi langkah kaki Raafi memasuki tenda yang sudah didekorasi cantik dengan nuasa biru putih. Karena memang itu adalah permintaan khusus dari Shinta yang sangat menyukai visual Doraemon.
“Calonnya Raafi, ya?” tanya seorang wanita baya yang mengenal Raafi.
“Jangan-jangan setelah ini Raafi akan segera menyusul,” timpal wanita baya yang memakai baju kebaya biru.
Raafi hanya tersenyum malu mendapati pertanyaan yang bertubi-tubi itu. Sedangkan Hasna bukan main rasanya ingin bilang ‘tidak’. Kalau bukan karena langkah Raafi yang terbilang terlalu buru-buru. Mungkin Hasna sudah menjawab pertanyan ibu-ibu itu satu persatu saking geramnya. Jangan sampai kesalahpahaman ini semakin melebar ke mana-mana.
Mereka pun akhirnya duduk di kursi barisan depan.
Raafi berkata agak berbisik, “Maaf, ya, soal ibu-ibu tadi.”
Hasna menganguk. Lalu mulai mengedarkan pandangannya. Oh, tidak. Hasna baru menyadari bahwa dirinya tengah menjadi sorotan pasang mata sanak keluarga Raafi. Bagaimana Hasna bisa tahu? Sebab mereka memakai seragam senada dengan Raafi. Hasna mengigit bibir dalam. Ia baru sadar jika dirinya duduk di antara keluarga besar Raafi. Saat ia mengedarkan pandangan ke atas panggung. Hasna mendapati keberadaan wanita baya yang tidak asing baginya. Duduk mendampingi mempelai pria.
“Bu Santi? Bu Santi ibunya Raafi?” desis Hasna lebih pada dirinya sendiri.
Dengan susah payah, Hasna menelan saliva miliknya. Belum sempat ia meminta penjelasan Raafi untuk segala kesalahpahaman yang terjadi. Sepertinya akan ada hal besar yang terjadi setelah ini. Seandainya saja Hasna bisa melarikan diri dari acara itu sekarang juga.
Perempuan baya yang duduk di atas pelaminan itu adalah mantan guru di SMA-nya. Bu Santi terkenal dengan kebengisannya saat mengajar. Pokoknya tidak ada siswa yang berani mengolok sang guru, melawannya, apalagi dekat dengan guru matematika itu. Berbeda dengan Hasna, baginya mendapatkan guru seperti Bu Santi itu sebuah anugerah terindah. Sebab, kapan lagi suasana kelas bisa tenang? Sehingga ia bisa lebih fokus menyerap pelajaran yang disampaikan sang guru.
Di saat semua teman-teman sekelasnya merasa tertekan selama jam pelajaran Bu Santi berlangsung. Hasna adalah satu-satunya siswa yang paling bersemangat. Tanpa diduga, hal tersebut malah mencuri perhatian si guru bengis itu.
Bermula dari Hasna yang sering mengajukan pertanyaan apabila merasa penjelasan dari Bu Santi kurang dimengerti. Semakin lama hubungan guru dan siswa itu pun semakin dekat. Sampai-sampai Hasna diolok-olok menjadi anak emas Bu Santi oleh teman-temannya.
Pada kenaikan kelas dua, Bu Santi mendapatkan tugas untuk pindah mengajar di sekolah lain. Tentu saja, kepindahannya menjadi kabar baik bagi sebagian besar siswa-siswi di sana. Berbeda dengan Hasna yang merasa agak sedih harus kehilangan sosok guru favoritnya.
Pada hari perpisahan Bu Santi sebagai bentuk penghormatan terakhir dari seluruh warga SMA Tunas Bangsa. Satu persatu siswa-siswi mengalami Bu Santi, tidak terkecuali Hasna. Ketika Hasna hendak menyalami sang guru, Bu Santi malah memeluknya.
“Ibu dari dulu pengin sekali punya anak perempuan. Terus jadi anak baik, ya. Ibu senang bisa mengenalmu di sini. Besok-besok kalau jumpa lagi dengan ibu jangan lupa sama ibu, ya. Kamu sudah ibu anggap seperti anak sendiri.”
Seharusnya Hasna merasa senang bisa berjumpa dengan guru favoritnya. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Tidak mungkin tante Evi hanya bercanda menyebuti calon istri Raafi? Tante Evi tidak mungkin hanya asal bicara tanpa ada dasarnya. Jangan-jangan Bu Santi adalah dalang dari semua ini? Astaga, apa yang baru saja ia pikirkan? Hasna menggelengkan kepala, mencoba membuyarkan segala dugaan yang belum pasti. Ia tidak ingin berburuk sangka dengan mantan gurunya itu.
Tetapi ... bisa saja, kan, Bu Santi menginginkan dirinya untuk menjadi menantunya? Astaga, kenapa tingkat kepercayaan dirinya sekarang naik berkali-kali lipat?
“Hasna?” Raafi membuka suara.
Mendengar suara Raafi memanggilnya, membuat Hasna sadar dari lamunannya. Gadis itu menoleh, dan tanpa ia sadari tindakannya tersebut membuat kedua wajah mereka agak berdekatan. Menyadari posisi yang tidak nyaman itu, keduanya buru-buru mengambil jarak. Setelah itu, keduanya tampak canggung dan ragu. Hasna merasa pipinya mendadak panas.
“Kamu mau es krim? Kalau mau biar aku ambilkan.” Raafi menawarkan dengan kikuk.
Hasna menganguk kecil. “Boleh.”
Raafi pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju stand es krim yang telah disediakan tuan rumah. Hasna menghela napas lega selepas kepergian Raafi. Entah kenapa, ia merasa tidak nyaman diperhatikan orang gara-gara duduk bersebelahan dengan Raafi.
Beberapa detik berlalu. Tiba-tiba Hasna mendengar ada seseorang memanggil namanya. Gerakan Hasna berhenti ketika hendak mengambil ponsel dari dalam tas kecil miliknya. Hasna mengedarkan pandangan. Dan kedua bola matanya berhenti mencari saat mendapati kehadiran sahabatnya.
“Isti?” Hasna beranjak. Lalu menghampiri Isti.