Seminggu sudah berlalu usai pernikahan Randy dan Shinta. Tidak ada kabar dari Raafi. Hasna pun sama sekali tidak berharap mendapatkan kabar dari pria itu. Sebab, ada hal yang lebih penting dari sekadar mengharapkan kabar. Ia tengah bimbang. Duduk termenung di tepi ranjang. Kamarnya yang luas terasa menyesakkan. Nyaris saja ia kehabisan napas. Hari ini adalah hari yang seandainya saja, tidak pernah ada di dalam hidupnya. Hari yang menjadi saksi bisu pernikahan Farhan dan Nayya. Serta rasa sakit yang sulit diartikan. Ia bertanya-tanya, apakah pantas ia merasa sakit saat ini?
Di sisi lain, bagaimana mungkin ia bisa datang begitu saja ke acara itu. Lalu berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa di antaranya dan Farhan. Meskipun di antara mereka memang tidak pernah ada hubungan spesial. Setidaknya, kedatatangan Farhan menemuinya tempo hari cukup menjadi bukti. Pria itu seolah ingin memutus hubungan dengannya. Ia benar-benar bingung. Kalut. Entah sudah berapa kali ia mondar mandir di dalam kamarnya.
Ia mengigit bibir, menghela napas gusar, lalu menoleh ke belakang tiba-tiba. Suara ketukan pintu diiringi desak tangis membuatnya berhenti melangkah. Seolah telah kembali ke dunia nyata. Ia berlari cepat membuka pintu kamar. Setelah pintu itu terbuka, tampaklah bundanya berlinang air mata dengan ponsel masih berada di dalam genggamannya.
“Bunda kenapa menangis? Ada apa?” tanya Hasna khawatir. Ia memegang kedua baju wanita baya itu.
“Ne ... Nek Ita meninggal dunia, Hasna,” ungkap Bunda Hasna kemudian, lalu melanjutkan tangisannya.
“Inalillahi wainailaihi rojiun,” kedua bola mata Hasna terasa panasa, mulai berkaca-kaca. Ia tidak sedang bermimpi, kan? Sekujur tubuhnya terasa semakin lemas. Terakhir kali ia berjumpa dengan Nek Ita dua tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin wanita ringkih itu masih bisa bercanda dengannya.
Hasna menuntun sang bunda duduk di atas tempat tidurnya. “Bagaimana kalau kita menyusul Ayah ke sana sekarang.”
Masih dalam keadaan pilu, Bunda Hasna memastikan ucapan Hasna. “Apa kamu yakin menyetir seorang diri ke sana?”
Hasna mengenggam telapak tangan bundanya. “Bunda percaya saja sama aku. Sekarang Bunda buruan siap-siap. Kita harus kejar waktu. Kalau bisa, kita sampai sebelum Nek Ita dikebumikan.”
Selepas sang bunda keluar dari dalam kamar. Hasna pun segera bergegas. Mengambil beberapa helai baju yang mungkin akan ia butuhkan di sana. Jarak antara Palembang ke Prabumulih mungkin akan memakan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Hasna sebenarnya tidak pernah membawa mobil dengan jarak sejauh itu. Tetapi, mau bagaimana lagi? Mereka tidak mempunyai siapa pun yang bisa diandalkan seakarang. Pikiran menjadi sempit.
Di saat kedua ibu dan anak itu tengah sibuk berkemas. Seseorang memencet bel rumah mereka, sekaligus mengucapkan salam dengan ramah. Hasna dan bundanya keluar bersamaan dari dalam kamar masing-masing. Kedua ibu dan anak itu saling menatap wajah, seolah bertanya-tanya siapa yang datang di saat tidak tepat.
“Biar Hasna saja yang buka pintunya. Bunda lanjut berkemas.” Hasna melangkahkan kaki ke pintu utama usai memakai hijab instan berwarna biru tua miliknya.
Sebelum membuka pintu, Hasna mengintip siapa gerangan yang bertamu. Perempuan itu menyibak sedikit gorden jendelanya. Kedua bola matanya terbelalak. Seorang pria berkemeja biru dengan setelan celana jeans berdiri di luar sana. Tampak jelas keranjang rotan ia bawa di tangan kanannya. Pria itu ...
“Siapa dia, Nak?” tegur sang Bunda mengagetkan Hasna.
“Teman Hasna, Bun,” jawab Hasna cepat.
Bunda Hasna menatap lekat wajah anaknya. “Kenapa nggak dibuka pintunya? Mungkin ada hal penting.”
“Itu—iya, iya, ini juga mau dibuka.” Hasna memutar kunci pintu rumahnya.
“Asalamualaikum,” ucap Raafi usai pintu rumah Hasna terbuka.
Hasna dan bundanya menjawab salam. “Walaikumsalam.”
“Perkenalkan Tante, aku Raafi. Temannya Hasna.” Raafi menyalami Bunda Hasna. Sekaligus memperkenalkan diri dengan sopan. Tak menyangka ia akan bertemu orang tua Hasna.
“Salam kenal ya, Raafi. Maaf sebelumnya, ya. Ada urusan apa Nak Raafi datang ke sini? Bukannya tante nggak suka kamu berkunjung. Tante sama Hasna mau berangkat ke Prabumulih sekarang. Neneknya Hasna baru saja meninggal." Bunda memberi penjelasan dengan lemah lembut, sebisa mungkin tidak membuat Raafi tersinggung.
“Inalillahi wainailaihi rojiun. Aku turut berduka cita. Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat. Kedatangan aku ke sini hanya ingin mengantar titipan ibuku untuk Hasna dan keluarga,” Raafi menyodorkan keranjang rotan yang ternyata berisikan buah-buahan kepada Hasna.
“Terima kasih.” Hasna mengambil pemberian tersebut.
“Maaf Tante sebelumnya, kalau boleh tahu siapa saja yang akan pergi? Maksudnya ... siapa yang akan menyetir?” tanya Raafi memastikan. Sebab, ia tidak melihat kehadiran Ayah Hasna di sana. Tidak mungkin Hasna yang akan membawa mobil, jika benar, ia tidak tega membiarkan semua itu terjadi.
Hasna menatap Raafi. “Saya sendiri. Ayah saya sudah berangkat lebih dulu ke sana.”
“Bagaimana kalau aku saja yang mengantar? Aku hanya khawatir, tidak ada maksud lain. Rasanya tidak sampai hati membiarkan kamu menyetir seorang diri. Itu pun kalau Tante mengizinkan. Aku tidak bisa memaksa.” Raafi tertegun usai berkata-kata. Ia tidak percaya dirinya benar-benar mengatakan hal tersebut.
Bunda Hasna tampak menimbang-nimbang tawaran Raafi. Sedangkan Hasna sudah bersiap menolak tawaran itu. Akan tetapi, bundanya lebih dulu membuka suara. “Baiklah. Tante sangat berterima kasih atas kebaikan, Nak Raafi.”
“Kalau begitu kita pakai mobilku saja, ya. Kebetulan aku bawa mobil ke sini.” Lagi, Raafi menawarkan.
“Apa nggak terlalu merepotkan, Nak Raafi?” Bunda Hasna tampak gusar.
“Tante jangan berpikiran begitu. Sama sekali nggak merepotkan. Aku senang bisa membantu Tante dan Hasna.”
“Terima kasih banyak, ya, Nak Raafi. Kalau begitu Tante tinggal ke dalam mau lanjut beres-beres." Bunda Hasna berlalu kembali masuk ke dalam rumah.