“Awalnya aku sama sekali nggak menyangka, kamu dan ibuku saling mengenal,” Raafi mengambil jeda sejenak lalu melanjutkan ucapannya. “Waktu aku pulang dari galeri kamu hari itu. Aku iseng lihat-lihat feed Instagram galeri kamu. Ternyata di sana ada foto kamu. Tahu-tahu ibuku sudah berdiri di sampingku. Sejak saat itulah, di rumah ibuku heboh tujuh keliling. Katanya, ‘dunia yang luas ini terkadang terasa benar-benar sempit’. Ibuku senang bisa ketemu lagi sama kamu.”
“Lalu?” Hasna menanti kelanjutan cerita dari Raafi.
“Bagaimana menurutmu jika sejak awal aku memang berniat untuk mendekatimu?” Raafi mengalihkan pembicaraan.
Sayangnya pembicaraan mereka terjeda sejenak ketika pesanan tiba. Hasna benar-benar merasa jalan hidupnya sekarang seperti cerita di novel-novel romantis. Ditinggal menikah oleh pria yang dicintai. Lalu datang seorang pria yang menawarkan cintanya. Sejujurnya ... Hasna bingung harus bagaimana menanggapi ucapan Raafi barusan.
Apalagi saat Raafi terang-terangan menyatakan bahwa ia memang berniat untuk mendekatinya. Mendekati dLam artian apa? Ah ... kenapa dadanya kini berdebar-debar. Hasna mencoba menenangkan diri. Tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak. Tetapi Hasna tidak bisa membohongi dirinya sendiri, jikalau ada perasaan yang bercampur aduk yang kini memenuhi ruang kecil di dalam hatinya. Entah perasaan apa itu namanya.
“Ayo kita makan dulu. Kamu pasti sudah lapar, kan. Ini sudah lewat jam makan siang.” Raafi memecah keheningan di antara mereka.
Hasna meraih sendok dan garpu miliknya. “Selamat makan.”
“Jangan lupa baca doa, ya.” Raafi mengingatkan yang hanya dijawab Hasna dengan anggukkan kecil.
Diam-diam Hasna mencuri pandang pada Raafi yang sedang menyantap lahap makanannya. Tiba-tiba ia mempunyai seribu daftar pertanyaan tentang sosok Raafi. Bagaimana kehidupan pria itu? Bagaimana sifat Raafi sesungguhnya? Apa kesibukannya? Apa hal-hal yang pria itu sukai? Apakah Raafi orang baik?
Dan pertanyaan paling besar pun muncul. Apakah sekarang ia mulai jatuh hati pada Raafi? Tidak! Bagaimana mungkin ia bisa jatuh hati secepat itu. Usia pernikahan Farhan dan Nayya sudah dua bulan. Ah ... dua bulan. Bukankah itu waktu yang cukup untuk mengubur segala perasaannya dan membuka lembaran baru untuk cinta yang baru? Perempuan itu mendadak bingung mengerti dirinya sendiri.
“Hasna, kamu nggak suka tomat?” tegur Raafi mengagetkan perempuan di hadapannya.
Hasna yang baru saya menyingkirkan potongan tomat miliknya ke sisi kanan bibir piring merasa malu. Selayaknya seorang anak kecil yang tertangkap basah mencuri cokelat di saat bulan puasa. “Iya, saya nggak suka makan sayur mentah. Maaf tadi lupa bilang.”
“Sini, biar aku saja yang habiskan.” Raafi mengambil potongan tomat itu dengan garpu miliknya. Menusuk dan langsung melahapnya. Tanpa menunggu persetujuan.
Hasna hanya bisa melongo melihat tindakan yang terbilang cukup berisiko. Mengambil makanan di piring milik orang lain.
“Kalau ada makanan yang kamu nggak suka jangan dibuang, ya. Bilang saja sama aku. Biar aku yang habiskan. Sayang kalau dibuang. Mubazir.” Pria itu berkata-kata sambil menikmati sisa tomat milik Hasna.
“Ah ..., ya,” jawab Hasna singkat. Ia pun menunduk, kembali melanjutkan melahap makanannya. Kini ia benar-benar merasa malu sampai mendapatkan wejangan seperti itu dari Raafi. Sebenarnya salah dirinya juga yang lupa memberi tahu Raafi jika pesanan miliknya tidak perlu dikasih lalapan.
Setelah selesai menyantap seporsi ayam geprek madu yang mengenyangkan. Kedua anak manusia itu sekarang tengah menikmati es teh manis milik masing-masing. Jujur saja, Hasna benar-benar bingung harus mulai dari mana agar bisa membuat pria itu kembali bicara. Rasanya aneh melihat wajah diam seperti itu. Hasna dibuat penasaran, apa yang tengah dipikirksn pria itu?
Setelah diingat-ingat. Ternyata selama ini memang Raafi yang lebih sering memulai pembicaraan di antara mereka. Dan kini, pria itu tampak sibuk memandangi kendaraan yang berlalu-lalang dari dinding kaca restoran yang transparan. Entah apa yang dipikirkannya.
“Setelah ini kamu mau ke mana?” tanya Hasna memberanikan diri. Sebetulnya ia tidak tahu pasti, apa kegiatan yang akan pria itu lakikan usai acara makan bersama mereka. Tunggu, kenapa nada suaranya seperti tengah memberi kode bahwa acara kita sudah selesai dan ayo pulang ke rumah masing-masing? Ah, lupakan itu.
Raafi menatap Hasna sekilas, lalu menunduk, menerawang gelasnya yang sudah kosong. Ia melepaskan pipet dari bibirnya. “Langsung pulang ke rumah.”
“Pulang?”
“Iya langsung pulang. Memangnya mau ke mana lagi? Ke rumahmu?” Raafi terekekeh.
“Lanjut kerja mungkin,” lontar Hasna. Kenapa ia mendadak ingin mengorek keseharian pria itu? Dan satu lagi, kenapa Raafi seperti sedang menggodanya?
Raafi tertawa. “Sama seperti ibuku. Aku ini seorang guru. Jam segini, tugasku sudah selesai.”
Hasna tampak takjub mendengarnya. “Benarkah? Kamu guru apa?”
“Coba tebak?” perintah Raafi. Ia penasaran dengan jawaban yang akan Hasna berikan.
Hasna mencoba menimbang-nimbang. Pertama, dimulai dari baju yang Raafi pakai. Biasanya gaya berpakaian seseorang menunjukkan jati dirinya. Tetapi bisa saja ia menganti seragam bekerja sehari-hari karena ingin bertemu dengannya siang ini? Astaga, kenapa tingkat kepercayaan diri Hasna meningkat dengan pesat?
Kedua, dari sikap Raafi yang lemah lembut dan bersahabat. Kenapa susah sekali menebaknya? Hasna berpikir keras. Sampai-sampai ia tak sadar jika jari telunjuknya menempel di dahi. Spontan saja, hal tersebut membuat Raafi menggelengkan kepala. Ternyata perempuan di hadapannya ini benar-benar lucu jika dibuat penasaran. Kenapa Raafi tampak menikmatinya?
“Kamu guru bahasa Indonesia!” tebak Hasna dengan penuh semangat.
Raafi tertawa agak keras. “Salah!”
“Sejarah?”