Sepulang dari galeri, Hasna kaget melihat meja tamu yang agak berantakan. Ada tiga gelas kosong serta teko yang masih berisikan sisa teh manis. Dan beberapa toples makanan ringan. Sepertinya baru saja ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.
“Asalamualaikum, Bunda,” ucap Hasna kala menyadari kehadiran bundanya.
Bunda Hasna mengulas senyum penuh arti. “Walaikumsalam.”
Hasna menunjuk meja tamu dengan jari telunjuknya. “Ada tamu?”
Wanita baya itu menganggukkan kepala. Lalu mengambil posisi duduk di atas sofa. “Sini duduk dulu. Kamu pasti capek baru pulang.”
“Siapa?” lanjut Hasna sembari duduk di samping bundanya. Mengabaikan ucapan bundanya barusan.
“Raafi.” Bunda Hasna terlihat senang saat menyebutkan nama pria itu.
Berbeda dengan Hasha, ia bagai disambar petir di sore hari. Padahal hujan baru saja selesai, tetapi gemuruh di dalam hatinya baru saja dimulai.
Hasna dibuat kaget bukan kepalang. Pria itu datang ke rumahnya tanpa memberi tahu dirinya lebih dahulu? Ah, bukankah memang dirinya sendiri yang membuat aturan konyol itu. Kenapa ia merasa agak menyesalinya?
Tiba-tiba Hasna baru menyadari satu hal yang sering ia lupakan. Bagaimana pria itu bisa tahu keberadaan rumahnya? Terakhir kali Raafi berkunjung Hasna tidak sempat menanyangkan hal tersebut. Jangan-jangan Reni dalangnya? Semua itu tidak terlalu penting lagi. Hal itu bisa ia tanyakan dengan Reni lain kali. Ada yang jauh lebih penting. Di mana Raafi sekarang? Sudah pulangkah? Apa tujuan pria itu datang ke sana?
Hasna mengedarkan pandangannya. Ia baru menyadari kehadiran motor matic berwarna biru terparkir di samping mobil ayahnya.
Raafi belum pulang!
“Di mana Raafi? Dia belum pulang, kan?” tanya Hasna penasaran.
“Raafi lagi main monopoli di ruang tengah sama Ayah.”
Ruang tengah? Ruang keluarga? Main monopoli? Kenapa orang tuanya begitu welcome kepada Raafi? Apa yang sedang direncanakan Raafi sekarang? Mengambil hati kedua orang tuanya? Selang beberapa detik, terdengar suara riuh dari ruang tengah. Tentu saja suara sang ayah lebih mendominasi.
Ketika Hasna hendak beranjak dan melihat langsung dua manusia yang cepat sekali akrab. Sang bunda menahan lengannya. “Bantuin bunda masak makan malam.”
Sekarang apa? Makan malam bersama di rumahnya? Hasna benar-benar dibuat bingung. Kenapa semua orang seolah berpihak pada Raafi? Kemarin-kemarin Reni, sekarang apakah Ayah dan Bundanya juga akan berpihak pada pria itu?
“Bunda mau ajak Raafi makan malam bersama?” Hasna menatap bundanya meminta penjelasan.
“Hitung-hitung balas budi sudah mengantarkan kita ke Prabumulih tempo hari. Dia juga mau mengantikan bunda menemani ayahmu main monopoli.” Bunda Hasna tersenyum kecil.
Hasna menghela napas jengah. “Apa nggak berlebihan sampai makan malam di sini? Takutnya Raafi malah salah paham. Padahal aku belum pasti akan menerima lamarannya.”
“Apa kamu bilang? Lamarannya? Raafi melamar kamu?” ucap Bunda Hasna penuh tanda tanya.
Hasna mengigit bibir dalam. Lalu memejamkan mata. Sangat menyesali semua kata-kata yang tidak sengaja ia lontarkan.
“Hasna jawab pertanyaan bunda,” perintah Bunda Hasna pada anaknya yang masih menutup mata.
Perlahan Hasna membuka kedua bola matanya. Lalu menatap bundanya yang menunggu penjelasan. “Iya.”
Bunda Hasna menengadah, lalu sedetik kemudian mengusap wajah penuh syukur. “Alhamdulilah, doa bunda menjadi kenyataan. Padahal doanya baru beberapa jam yang lalu. Kamu tahu bunda berdoa apa? Bunda berdoa semoga Raafi jadi menantu bunda. Soalnya bunda senang sama Raafi. Jarang-jarang ada anak muda seperti dia. Sudah ringan tangan, ramah, ba—”
“Bunda!” Hasna memotong ucapan bundanya. “Jangan berlebihan!”
“Iya, iya, nanti saja kita bahas semua ini. Ayo sekarang kamu bantuin bunda masak untuk calon suamimu itu.” Bunda Hasna menarik paksa lengan Hasna agar segera mengikuti langkahnya ke dapur.
“Siapa calon suamiku? Bunda jangan begitulah.” Hasna memohon belas kasihan.
“Raafi dong. Itu anaknya.” Bunda melirik sang suami dan Raafi yang duduk lesehan di depan televisi. Asyik main monopoli.
Meski enggan, pada akhirnya Hasna mengikuti arah lirikan bundanya. Ia mendapati Raafi tampak begitu akrab dengan ayahnya. Seolah sudah kenal lama.
Penampilan Raafi kala itu masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Kemeja dan celana jeans membalut tubuh berisinya. Sepertinya itu sudah menjadi ciri khasnya dalam berpakaian. Ah, tidak. Kenapa lagi-lagi ia malah memperhatikan pria itu?
Tiba-tiba Raafi menoleh ke arahnya. Kedua bola mata mereka saling bertemu. Entah kenapa Hasna merasa seperti seorang penguntit yang sedang tetangkap basah. Karena kaget, Hasna hi langsung berlari kecil menuju dapur mendahului bundanya. Sang bunda yang melihat tingkah laku anaknya hanya bisa menggelengkan kepala.
Ketika sampai di dapur, Hasna meraih gelas lalu mengisinya dengan air putih. Minum air putih bisa menetralkan emosi. Kenapa aku ketakutan seperti seorang pencuri padahal ini rumahku sendiri? Gumam Hasna frustrasi dalam hati.
“Ehem. Ternyata anakku bisa juga kasmaran,” goda sang bunda sambil mengambil sayuran dari dalam kulkas.
Kasmaran? Hasna benar-benar dibuat konyol karena kehadiran Raafi yang tiba-tiba!
“Siapa yang kasmaran? Aku? Bunda jangan mikir yang nggak-nggak. Aku sama sekali nggak lagi kasmaran,” kilah Hasna cemberut.
“Terus kenapa kabur pas Raafi menoleh tadi? Seharusnya kamu menyapanya, Hasna. Kayak anak ABG saja main kucing-kucingan.” Bunda Hasna mengomentari sikap anaknya barusan. Tentu saja masih dengan tawa kecil menyertainya.
Sebenarnya Hasna juga merasa tidak nyaman atas apa yang baru saja terjadi. Kira-kira apa yang akan Raafi pikirkan tentangnya sekarang?
“Mending kamu cuci sayurnya bersih-bersih daripada bengong.” Bunda Hasna menaruh sayur sawi di atas meja. Baru saja mengeluarkannya dari dalam kulkas.
Hasna melirik bundanya. “Siapa juga yang bengong, orang lagi mikir.”