Cinta Untuk Hasna

Dea Ayusafi
Chapter #11

Kembali Mengusik

Saat punggung Raafi tidak tampak lagi di pelupuk mata. Hasna bergegas masuk ke dalam rumah. Menutup pintu dan menguncinya. Ia sudah menduga jika kedua orang tuanya pasti tengah menunggu kedatangannya. Dan benar saja, keduanya tengah duduk manis di atas sofa ruang tamu. Senyum lebar bertengger di bibir mereka. 

Hasna menarik napas dalam, lalu menghelanya dengan perlahan. Saat-saat seperti ini pasti akan tiba dan mau tidak mau ia harus menghadapinya. Hasna lekas mengambil posisi di atas sofa. Duduk dengan pandangan lurus tertuju pada kedua orang tuanya.

Tanpa basa-basi, sang ayah langsung bersuara. “Jadi benar yang Bunda katakan sama ayah? Raafi mau melamar kamu?”

Sang bunda sangat berbakat dalam urusan menyebarkan informasi. Untuk saat ini, Hasna hanya mampu menjawab pertanyaan itu dengan menganggukkan kepala. 

“Ayah setuju!” ujar pria baya tersebut blak-blakan. Sukses membuat kedua bola mata Hasna melebar. Kaget bukan main.

Hasna mengalihkan pandangan pada bundanya. Meminta penjelasan dari ucapan yang baru saja ayahnya lontarkan.

Bunda Hasna memegang telapak tangan suaminya. Tersenyum manis penuh arti. Membuat Hasna merasa was-was. “Kalau ayah kamu sudah bilang 'oke' bunda bisa apa?”

Tidak, tidak boleh begitu! Hasna tidak percaya jika kedua orang tuanya begitu mudah menerima lamaran Raafi yang bahkan belum benar-benar pria itu lakukan. Mereka berdua pasti sedang bercanda! Semuanya tidak boleh berakhir seperti ini. Jangan terlalu mudah untuk Raafi. Dan jangan terlalu cepat untuknya.

“Kenapa Ayah sama Bunda begitu yakin dengan Raafi? Bisa saja kan semua yang terjadi hari ini hanya akal-akalan Raafi untuk menarik perhatian Ayah sama Bunda?”

Apa yang baru saja Hasna katakan? Ia baru saja berburuk sangka terhadap pria itu. Astaghfirullah, Hasna agak menyesali ucapannya barusan.

“Santai-santai. Jangan tegang begitu. Ayah sama Bundamu hanya bercanda.” Ayah Hasna tersenyum jahil, ciri khas ketika berhasil menjahili anaknya.

Mendengar ucapan itu, akhirnya Hasna bisa bernapas lega. Pernikahan bukan ajang permainan layaknya permainan yang bisa dimainkan sesuka hati. Kalau sudah bosan tinggalkan dan cari permainan yang lain. Ini pun bukan sekadar soal perasaan. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dengan matang. Terlebih lagi, masa-masa promosi memang akan selalu indah. Selebihnya kita baru akan mengetahui sifat asli pasangan setelah kita benar-benar telah hidup bersamanya.

Lalu bagaimana dengan Raafi? Apakah selama ini ia sudah menunjukkan kepribadian dirinya yang sebenarnya? Atau hanya sekadar topeng alih-alih menarik perhatian semata?

Lalu giliran wanita baya berusia empat puluh tahunan itu yang bersuara. “Menurut bunda, Raafi itu anak yang baik, apa adanya, bertanggung jawab, dan pastinya ganteng. Cocok sama kamu. Tetapi, bagaimana pun penilaian bunda terhadap Raafi. Semuanya kembali padamu. Bunda hanya bisa bantu doa. Kalau memang Raafi yang terbaik, semoga Allah mempermudahkan jalan kalian ke jenjang pernikahan.”

Bunda benar-benar menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap Raafi. Apakah sebegitu berkharismanya pria itu sampai-sampai bundanya sendiri tidak bosan-bosannya mempromosikan Raafi kepadanya? Hasna jadi bertanya-tanya. Sebenarnya anak kandungnya itu siapa sih? Raafi atau dirinya? Huh.

Ayah Hasna beranjak dari posisinya alih-alih duduk di samping Hasna. Lalu memeluk dari belakang bahu anak tercintanya. “Semuanya terserah pada keputusanmu, Hasna. Sekali pun ayah dan Bundamu ini sangat menyukai Raafi. Kami tidak akan memaksakan kehendak kami. Keputusanmu akhir tetap seutuhnya milik kamu.”

Hasna bisa merasakan ketulusan dari kata-kata yang baru saja ayahnya ucapkan. Sekali lagi, Hasna hanya bisa menganggukkan kepala dengan patuh. Sungguh, ia sangat bersyukur bisa memiliki orang tua yang berusaha semaksimal mungkin untuk memahami dirinya. Tiba-tiba kedua mata Hasna terasa panas. Dan benar saja, ada genangan air mata yang siap menerobos keluar.

“Cup-cup, semuanya akan berlalu dengan sebagaimana mestinya. Banyak-banyak berdoa, mintalah pertunjuk sama Allah. Ayah yakin, Allah pasti memberi yang terbaik untuk anakku ini.” Sang ayah berusaha menghibur. 

Melihat wajah anaknya yang mulai berlinang air mata, sang bunda beranjak dari tempat duduknya. Dengan gerakan lembut ia memeluk tubuh anaknya. Memberikan kehangatan dan rasa aman. “Jangan sedih. Nanti cantiknya diambil orang.”

Hasna mengusap air matanya dengan punggung tangan. “Hasna nggak sedih kok, Bunda. Cuma sedikit terharu sama kata-kata Ayah barusan. Ternyata Ayah bisa serius juga.” Hasna tertawa canggung disela isak tangisnya. Membuat bundanya hanya bisa menggelengkan kepala. Sebenarnya itu hanya alasan Hasna. Ia tidak ingin benar-benar memberikan alasan untuk rasa sedihnya.

Kalau dipikir-pikir, selama ini sang ayah memang jarang bicara hal yang serius dengan anaknya itu. Sehari-hari, Hasna selalu menjadi objek kejahilan setelah istrinya. Namun, tanpa pernah diduga siapa pun. Tiba-tiba suara tawa Ayah Hasna yang sebelumnya menggema berubah menjadi cegukan-cegukan kecil. Lebih mengagetkan lagi, pria baya itu tampak tengah menahan gejolak air matanya.

“Ayah kenapa?” tanya Bunda Hasna khawatir. Menatap suaminya sendiri dengan teliti.

“Ayah cuma kepikiran kalau Hasna menikah nanti lalu tinggal bersama suaminya. Siapa yang akan menggantikannya menjadi sebagai objek—”

Hasna memotong ucapan sang ayah. “Objek kejahilan maksud ayah?”

Sang ayah mengangguk pelan, tanda membenarkan ucapan anaknya. Spontan saja kelakuan pria baya itu membuat kedua ibu beranak memutar bola matanya malas lalu mengucapkan satu kata bersamaan dengan nada tinggi.

“Ayah!”

“Haha!” tawa sang ayah pecah melihat dua bidadari tampak sebal.

***

Setelah usai menunaikan shalat isyak sekaligus salat istikharah meminta pertunjuk perihal Raafi dari Allah Swt.. Perempuan yang masih mengenakan mukenah putih itu berjalan ke arah tempat tidurnya. Kemudian duduk di sana setelah mengambil Al-Qur'an yang bertengger di atas bantal.

Perempuan itu memindahkan bantal tersebut ke dalam pangkuannya. Akhir-akhir ini banyak sekali hal-hal yang membebani pikirannya. Dengan membaca baris ayat-ayat suci itu, ia berharap akan mendapatkan ketenangan. Sekaligus menjernihkan hati dan pikirannya.

Selang waktu berlalu, Hasna mengakhiri aktivitas mengajinya itu. Kemudian mengembalikan Al-Qur'an pada posisi sebelumnya. Melepas mukenah yang membalut tubuhnya yang mengenakan piyama berlengan panjang dan menggantungnya di lemari pakaian.

Ting!

Ponselnya berdenting. Memberi tanda ada pesan baru masuk di aplikasi WhatsApp. Hasna lekas meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Tampak jelas di layar ponselnya, ada satu pesan baru dari Raafi. Meski awalnya tampak ragu, akhirnya ia membuka pesan itu.

Lihat selengkapnya