Jam delapan malam. Aroma obat memenuhi ruangan serba putih itu. Menyengat indera penciuman. Kedua perempuan yang pipinya lembab bekas air mata kini akhirnya bisa bernapas lega. Meskipun rasa lega yang mereka rasakan tidak sirna seutuhnya. Melainkan digantikan dengan rasa khawatir yang tidak bisa dibohongi. Nyawa pria baya itu berhasil diselamatkan. Kalau telat sedikit saja membawa ayahnya ke rumah sakit, Hasna tidak tahu apa yang akan terjadi. Bahkan untuk sekadar membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, Hasna tidak sanggup melakukannya.
Bunda Hasna memegang erat telapak tangan ayahnya yang terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur. Ayahnya belum sadar, Dokter bilang itu efek obat yang diberikan. Rasanya benar-benar aneh melihat ayahnya yang biasanya aktif dan ceria kini pucat pasi dengan bibir membiru. Tidak disangka, serangan jantung menyerang pria baya tersebut. Beruntung Hasna sudah tiba di rumah saat sang ayah jatuh pingsan di kamar mandi. Hasna berharap, ayahnya akan hidup lebih lama. Sebagai seorang anak, ia merasa belum seutuhnya berbakti. Membalas segala jasa dan tenaga yang telah orang tuanya curahkan padanya selama dua puluh empat tahun ini.
“Bunda yang sabar, ya. Suami Bunda pasti akan baik-baik saja.” Itu suara Bu Santi. Ia mengelus pundak perempuan yang lebih muda darinya beberapa tahun dengan lemah lembut. Berusaha memberikan ketenangan.
Bunda Hasna meraih telapak tangan Bu Santi. Memutar badan dari tempat duduk. Menatap perempuan itu dengan seksama. “Terima kasih Bu Santi dan Raafi sudah repot-repot datang ke sini.”
Bu Santi tersenyum manis. Sambil menepuk-nepuk lembut telapak tangan Bunda Hasna, perempuan baya itu berkata, “Jangan merasa nggak enak hati. Kita berdua, kan, bakal calon besan.”
Hening sejenak. Seolah-olah kata-kata yang baru saja Bu Santi lontarkan adalah sebuah mantra yang bisa menghentikan laju waktu. Namun detik berikutnya, Hasna dan bundanya saling melempar pandang. Sedangkan Raafi tampak canggung sendiri. Ia merasa tidak enak hati dengan penuturan sang ibu yang terlalu terang-terangan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Merasa jengah dengan situasi yang tidak bisa dijelaskan. Bu Santi tertawa kecil lalu mengalihkan pembicaraannya. “Raafi kamu ajak Hasna makan dulu. Pasti dia belum makan. Sekalian beli makanan juga untuk calon mertuamu ini.”
“Saya belum lapar, kok, Bu. Saya mau di sini saja menemani Bunda menunggu Ayah sampai sadarkan diri.” Hasna menolak tawaran itu dengan hati-hati.
“Nggak apa-apa. Biar ibu yang menemani bundamu di sini. Kamu pergi makan dulu sana sama Raafi.” Bu Santi melayangkan tatapan pada Raafi usai berkata demikian. Seolah memberi isyarat: Jangan lewatkan kesempatan bagus. Semangat, Nak. Perjuangkan cintamu.
“Iya, Hasna. Nggak apa-apa, kamu pergi makan sama Raafi. Ada Bu Santi juga yang menemani bunda di sini. Bunda nggak mau lihat kamu ikutan sakit juga. Nak Raafi, titip anak bunda, ya.”
Titip anak bunda? Kenapa bunda? Bukan tante? Hasna menoleh ke arah Raafi. Pria itu tersenyum manis ke arahnya. Astaga, kenapa dadanya berdebar melihat senyuman itu.
“Ayo, Hasna.” Raafi tersenyum.
“Bunda, Bu Santi, kami tinggal sebentar, ya.” Hasna memberitahu—sekaligus pamitan. Dari raut wajahnya masih tergambar jelas bahwa ia masih mencemaskan keadaan sang ayah.
“Bundamu aman di sini.” Bu Santi memberi lirikan penuh arti, yang hanya dihadiahi Hasna senyuman canggung.
Raafi berjalan lebih dulu. Membuka pintu untuk Hasna. Hasna benar-benar merasa jengah dengan perlakuan yang Raafi lakukan padanya. Mereka berdua pun akhirnya berjalan beriringan menuju kantin yang ada di rumah sakit.
Raafi menoleh ke arah Hasna, lalu berkata, “Aku tahu, kamu pasti sangat mengkhawatirkan ayahmu. Tetapi, kesehatanmu juga nggak kalah penting.”
Perasaan Hasna menghangat mendengar penuturan Raafi. Ia mengepal erat telalak tangannya. “Terima kasih sudah datang. Juga telah mengkhawatirkan ayahku.”
“Aku juga mengkhawatirkanmu, Hasna.” Raafi mengulangi ucapannya.
Hasna menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Raafi. Menatap lekuk wajahnya yang sama sekali tidak membosankan. “Terima kasih karena kamu sudah mengkhawatirkan saya.”
“Sepertinya kedatanganku dan keluarga akan ditunda sampai kondisi ayahmu membaik.” Raafi tersenyum kecil usai mengatakan itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Hasna mengerjap. Pria itu tidak perlu menunggu lama. Ia sudah mendapatkan jawabannya. Pria di sampingnya ... berhasil menghangatkan hatinya yang sempat membeku. Paling tidak, pria itu tidak hanya peduli padanya. Tetapi, juga pada kedua orang tuanya. Bahkan, pria itu langsung menyusulnya ke rumah sakit saat mendapat kabar darinya. Bukan hanya dirinya, tetapi juga dengan Bu Santi. Seolah-olah menunjukkan, bahwa ia memang penting dan mempunyai posisi di hati ke dua manusia itu.
Hasna mengigit bibir dalam. “Nggak apa-apa, Raafi.”
Raafi menghela napas. “Semoga keadaan ayahmu cepat membaik, ya.”
“Aamin!” sahut Hasna cepat.
Mereka kembali melanjutkan langkah. Menelusuri koridor rumah sakit yang tampak senggang malam itu.
“Raafi?” ucap Hasna tiba-tiba. Ia mengigit bibir dalam.
“Ya?” Raafi menjawab. Ia menoleh. Perempuan di sampingnya kembali menghentikan langkah, menundukkan pandangannya. Menatap lurus ubin rumah sakit yang bewarna putih. Seandainya saja ubin itu adalah dirinya. Ah, Raafi geli sendiri membandingkan dirinya dengan ubin rumah sakit!
“Aku sudah mempunyai jawaban untukmu,” lirih Hasna.
Raafi mendadak heboh. “Jawaban apa? Soal lamaranku? Kan, aku belum datang ke rumahmu. Jadi nanti saja menjawabnya.”
Hasna menarik napas lalu menghelanya perlahan. Mengumpulkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mengakui perasaannya.
“Saya ... menerima lamaranmu,” aku Hasna masih dengan menundukkan kepala. Tidak memedulikan ucapan Raafi sebelumnya.
“Hasna, kamu tidak sedang bercanda, kan?” Ingin sekali rasanya Raafi mengangkat dagu perempuan di hadapannya. Agar ia bisa melihat langsung kedua bola mata perempuan itu. Apakah ada bayang dirinya di sana?