Setelah tiga puluh menit menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di tujuan. Raafi buru-buru turun dan membuka pintu mobil untuk calon mertuanya itu. Ia merangkul ayah Hasna keluar dari dalam mobil.
“Nak Raafi ayo masuk dulu mampir minum teh,” tawar Bunda Hasna ramah.
“Sekalian main monopoli sama ayah," lanjut Ayah Hasna bersemangat. Padahal jelas-jelas sang dokter menyuruhnya untuk banyak-banyak istirahat.
“Inget nggak kata dokter tadi apa? Ayah itu harus banyak-banyak istirahat,” keluh sang Bunda.
“Kan main monopoli nggak pakai banyak tenaga. Kalau kuda sama bentengnya asli baru bunda boleh khawatir,” kilah sang Ayah.
Hasna tersenyum kecil. Rasanya sudah lama tidak mendengar dua orang itu berdebat untuk hal yang tidak penting. Di saat tiga orang itu sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil. Hasna bergegas membuka pintu rumah. Akan tetapi, ketika Hasna hendak memutar anak kunci. Ia menyadari kehadiran buket bunga mawar merah tergeletak di depan pintu rumahnya. Hasna berjongkok mengambil buket itu. Kedua bola matanya melebar saat melihat nama pengirimnya.
Farhan.
Secepat kilat Hasna menaruh buket itu dalam pelukannya. Tidak ingin sampai Ayah, Bunda, atau Raafi melihatnya. Namun, bundanya tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. Membuatnya kaget bukan kepalang.
“Dari siapa?” Bunda Hasna melirik buket di pelukan anaknya.
“Bukan dari siapa-siapa.” Hasna memutar kenop pintu dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu-buru.
Hasna berharap mereka tidak akan tahu siapa pengirim buket itu. Sayangnya, jauh mata memandang, ternyata kartu ucapan itu terjatuh di lantai dan Raafi memungutnya.
Raafi mengajukan pertanyaan. “Tante, Om, Farhan itu siapa?”
Bunda dan Ayah Hasna saling melempar pandang.
“Bukan siapa-siapa kok.” Seolah tahu apa yang dipikirkan Raafi, Ayah Hasna memperkuat rangkulannya. Seolah memberi tanda bahwa ia tidak perlu khawatir sebab ia telah mendapatkan dukungan seutuhnya darinya.
Di sisi lain, Hasna melipir masuk ke dalam kamarnya. Tidak memedulikan Raafi yang ia tinggal begitu saja bersama kedua orang tuanya. Perempuan itu menutup pintu kamarnya rapat. Kemudian berjalan ke tempat tidur. Mengambil posisi duduk di tepi tempat tidurnya. Tak lupa ia meletakan buket bunga pemberian Farhan di atas nakas.
Ia mengigit bibir. Menghela napas panjang. Mengucap istighfar, lalu mengusap wajah. Ia tampak frustrasi. Tentu saja. Kenapa Farhan mengirim buket bunga lagi ke rumahnya? Apa alasan dan tujuannya? Hasna tidak ingin menjadi kambing hitam di antara hubungan Farhan dan Nayya. Jika terus begini, bisa-bisa semuanya akan semakin pelik.
“Hasna tenanglah. Kamu, kan, sudah memutuskan untuk menerima lamaran Raafi. Setelah kamu menikah nanti, semuanya pasti akan baik-baik saja," gumam Hasna pelan. Ia mencoba meyakinkan dan menenangkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba perempuan tersebut dikagetkan akan kehadiran bundanya yang masuk ke dalam kamar. Hasna beranjak dari posisinya. Buru-buru menetralkan ekspresi wajahnya. Tidak ingin membuat bundanya sampai khawatir dan bertanya tentang ekspresinya itu.
“Loh, kenapa malah sembunyi di sini?” tegur Bunda Hasna dengan nada bercanda.
“Siapa yang sembunyi? Nggak ada yang lagi sembunyi Bundaku sayang.” Hasna memeluk lengan bundanya. Menariknya perlahan agar meninggalkan kamarnya. Ia tidak ingin bundanya melihat buket bunga pemberian Farhan.
Bunda Hasna menoleh ke samping, menatap lekat wajah anaknya. “Bunda mau tanya. Kamu ada hubungan apa dengan Farhan? Kalian berdu—”
Hasna memotong ucapan sang bunda. “Aku sama Mas Farhan nggak ada hubungan apa-apa, Bunda. Percaya sama aku. Ceritanya panjang kalau harus dijelaskan sekarang.”
Tunggu, kenapa bundanya tiba-tiba menanyakan kepadanya perihal Farhan? Atau jangan-jangan bundanya tahu dan menyadari jika beberapa hari terakhir Farhan selalu mengirim buket bunga mawar untuknya? Astaga, bagaimana ini. Hasna mendadak risau.
Perempuan baya itu menghela napas berat. “Bunda berharap kamu sama Raafi akan secepatnya menikah. Agar orang tidak berpikir buruk tentangmu. Bunda nggak mau anak bunda yang baik ini dituduh merusak rumah tangga orang.”
Hasna bisa menangkap kekhawatiran yang tampak di air muka bundanya. Sebenarnya ia sama khawatirnya melihat sikap Farhan yang tiba-tiba bertingkah seperti sekarang. Mengingat pria itu sudah beristri. Rasa-rasanya posisi Hasna sekarang benar-benar tidak menguntungkan dilihat dari segi mana pun.
“Bunda setuju kalau aku menikah dengan Raafi?” tanya Hasna kemudian. Memastikan. Sebab bundanya langsung mengkaitkan masalah yang ada dengan pernikahannya dan Raafi.
“Tentu saja!” jawab Bunda Hasna bersemangat lalu mengulas senyum manis sembari mengelus pucuk kepala anaknya.
Kedua bola mata Hasna berbinar. Terpukau dengan jawaban sang bunda. “Bagaimana dengan, Ayah?”
Bunda Hasna mengangguk kepala. Lalu mengerling manja. “Kenapa tidak?”
“Jadi Bunda sama Ayah sudah tahu kalau aku sama Raafi—”
“Sejak awal kami sudah bisa menebak gelagat kalian berdua.” Bunda Hasna mulai melancarkan aksi menggoda anaknya. Sesekali perempuan baya itu mencubit hidung Hasna dengan lembut.
Hasna merasa jengah. Gelagat seperti apa? Pipinya terasa panas. Apa mungkin darah tengah merangkak ke sana? Ah, kenapa sulit sekali menyembunyikan tentang perasaannya pada Raafi dari kedua orang tuanya?
Raafi. Apakah ia tulus menerima lamaran pria itu tanpa ada alasan lain yang mendasarinya? Hasna tidak ingin seolah-olah menjadikan Raafi sebagai pelarian semata. Akan tetapi, semakin ia bertanya pada dirinya sendiri. Semakin ia menginginkan Raafi berada di sisinya. Menjadi pendamping hidupnya. Menjadi belahan jiwanya.