Raafi menepati janjinya kemarin. Pria itu benar-benar datang bersama keluarganya mendatangi kediaman Hasna. Menemui orang tua Hasna dengan resmi. Ada Bu Santi, Shinta, paman dan bibinya serta dua anak perempuan mereka turut meramaikan. Tidak ada sosok sang ayah, karena memang Bu Santi adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya sejak usia Raafi sepuluh tahun. Sedangkan Randy tidak bisa ikut karena sedang mendapatkan tugas di luar kota. Tentu saja, kehadiran mereka dilengkapi dengan beberapa bingkisan yang ditujukan untuk menghormati tuan rumah.
Pertemuan kedua belah pihak keluarga tersebut berjalan lancar dan hangat. Awalnya Hasna tidak banyak bicara. Ia berusaha menyembunyikan rasa gugup yang menyelimuti dalam diam. Namun, sesekali Shinta mengajaknya mengobrol. Cukup efektif membuat perempuan itu mau tidak mau harus membuka suara.
“Saya sangat menghargai niat baik Nak Raafi beserta keluarga atas kedatangannya dengan maksud melamar anak saya, Hasna. Tetapi, keputusan akhir, saya serahkan semuanya pada Hasna,” ujar Ayah Hasna sopan kepada keluarga Raafi.
“Aku akan menerima apa pun jawaban yang akan Hasna berikan.” Raafi menyahut.
Sebenarnya Hasna sudah memberikan jawaban untuk Raafi tempo hari. Akan tetapi, siapa tahu dalam waktu semalam perempuan itu mengubah keputusannya? Raafi berharap Hasna tidak akan memberikan jawaban yang mengecewakannya.
Bu Santi tersenyum hangat. Ia mengalihkan pandangannya pada Hasna seutuhnya. “Hasna, kamu mau, kan, menerima lamaran kami? Menjadi menantu ibu? Menjadi istri Raafi?”
Perempuan baya itu mendesak Hasna dengan tiga pertanyaan sekaligus. Dari bola matanya yang berkilau, ia benar-benar tampak menaruh harapan besar pada Hasna. Seolah begitu ingin Hasna menjadi menantunya, menjadi istri dari anak kesayangannya. Semua orang menunggu jawaban apa yang akan Hasna berikan.
Waktu seolah berputar dengan lambat. Detik-detik yang ditunggu akhirnya tiba, Hasna menganggukkan kepala dengan jengah. Setidaknya anggukan itu cukup menjadi bukti bahwa ia menerima lamaran Raafi. Ya, Hasna menerima lamaran itu disaksikan pasang mata di sana.
Telapak tangan perempuan berjilbab biru muda itu kini sedingin es, dan ia bisa merasakannya dengan jelas. Ia telah membulatkan tekad. Raafi adalah pelabuhan terakhirnya. Dan itu pertanda ia akan berhenti mencari. Hasna berharap, Raafi bisa menjadi seorang imam terbaik untuknya. Yang mampu menuntunnya di jalan yang benar. Dunia dan akhirat. Mengejar ridho Allah bersama-sama.
“Alhamdulillah!” Semua orang yang ada di sana serempak mengucap syukur atas jawaban yang Hasna berikan.
“Jadi kapan waktu yang bagus untuk melangsungkan pernikahan anak kita?” Bu Santi langsung bertanya pada Ayah Hasna. Wajahnya yang agak keriput itu tampak ceria. Padahal di luar sana langit biru sedang absen bertugas. Digantikan dengan awan hitam dan angin dingin yang berlalu-lalang.
Ayah Hasna melirik istrinya, lalu Hasna. Ia menyadari kedua perempuan itu tampak sama bingungnya dengannya. “Kalau kamu Raafi, penginnya kapan?”
Raafi yang mendapatkan pertanyaan itu tersenyum kecil. Semburat merah menghiasi pipi. Perlahan ia menggerakkan tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Penginnya secepatnya, Om.”
Terdengar gelak tawa dari beberapa orang yang ada di sana. Raafi pun mendapatkan hadiah kecil dari sang paman. Pukulan pelan di pundaknya. Hasna pun dibuat jengah dengan jawaban Raafi barusan. Kedua insan itu diam-diam saling mencuri pandang.
“Kalau dua Minggu lagi bagaimana? Hari Jum'at?” usul Bu Santi mengagetkan Hasna dan Raafi. Tidak, bukan hanya Hasna. Melainkan seluruh orang yang ada di sana.
“Apa nggak terlalu buru-buru, Bu?” tegur Raafi canggung.
“Kan kamu yang bilang mau secepatnya. Niat baik itu harus disegerakan. Semakin cepat semakin bagus. Jangan ditunda-tunda,” jawab Bu Santi santai. Sedikit menggoda anaknya.
Kini giliran Shinta yang angkat bicara. “Raafi benar, Bu. Kayaknya 2 minggu nggak cukup. Mau urus berkas ke KUA, belum lagi mempersiapkan segala persiapan lainnya? Seperti baju, katering, undangan?”
“Tenang saja soal itu. Biar ibu yang atur soal berkas.”
“Ibu serius?” Shinta kembali menyela.
“Menurut Ayah Hasna bagaimana?” tanya Bu Santi pada Ayah Hasna. Mengabaikan pendapat Shinta mentah-mentah. Membuat perempuan yang tengah hamil muda itu mencebik.
“Saya setuju.” Belum sempat Ayah Hasna menjawab pertanyaan Bu Santi. Sang Bunda angkat bicara lebih dulu.
“Bunda setuju?” tanya sang suami memastikan.
“Kita bisa melangsungkan akadnya dulu saja. Soal resepsi, kan, bisa menyusul nanti. Atau kalau memang memungkinkan kita urus semuanya sekaligus. Tenang saja, tim Umaiza Wedding siap lembur.” Bunda Hasna mendukung keputusan Bu Santi. Mengerling mata pada calon besannya. Sepertinya mereka akan menjadi besan yang kompak.
Hasna menarik napas panjang. Kedua jemarinya memelintir ujung baju tunik yang ia pakai. Sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk angkat bicara, “Maaf sebelumnya, jika diizinkan, saya ingin acara pernikahan saya dan Raafi dilangsungkan sederhana saja. Kalau perlu tamu undangan cukup anggota keluarga besar kedua belah pihak. Dan juga teman-teman dekat.”
Begitu mengejutkan! Semua yang ada di sana terkaget-kaget bukan main. Bu Santi sampai tidak bisa berkata-kata mendengar penuturan Hasna.
“Hasna, kamu itu anak kami satu-satunya. Apa kamu yakin tidak ingin mengadakan repsesi pernikahan?” tanya sang ayah pada Hasna.
“Coba dipikirkan lagi, Nak,” tambah bundanya. Menepuk punggung tangan Hasna dengan pelan.
Tiba-tiba saja, ia teringat ucapan bundanya tempo hari yang ingin melihatnya memakai pakaian adat Palembang di hari resepsi pernikahannya. Namun, keputusannya sudah bulat.
Hasna menggenggam jemari bundanya. Menatap wajah bundanya dengan senyum hangat menghiasi bibir tipisnya. Lalu bicara dengan suara pelan, nyaris berbisik hanya kepada sang bunda. “Hasna yakin, Bunda. Hasna nggak mau memberatkan calon suamiku. Lagipula, tujuan utama menikah karena ingin menyempurnakan agama. Mengejar ridho Allah dunia dan akhirat. Bukan berlomba-lomba menyelenggarakan repsesi pernikahan yang hanya dinikmati satu hari saja. Hasna yakin semuanya akan berjalan lancar meskipun tanpa adanya resepsi pernikahan.”
Bunda Hasna mengerjap. Tidak menyangka jika anaknya akan berpikir seperti demikian. “Baiklah, kalau itu maumu. Bunda nggak akan memaksa.”
“Masya Allah, ibu dari awal memang sudah yakin dengan pilihan ibu. Kamu memang perempuan baik, Hasna. Calon menantu idaman.” Bu Santi menatap Hasna dengan bangga.
Tentu saja, Bu Santi memuji Hasna terang-terangan. Membuat Shinta yang duduk di sampingnya spontan menunjukkan ekspresi tidak suka. Akan tetapi, ekspresi itu dalam hitungan sepuluh detik berganti dengan ekspresi normal seperti sebelumnya.