Setelah mengantar Reni kembali ke galeri. Hasna kembali melajukan mobilnya menuju alamat yang satu jam lalu Raafi berikan. Pantas saja pria itu baru mengabarinya selepas jam makan siang. Ternyata, Raafi sedang mengikuti acara lelang untuk acara amal sejak tadi pagi. Bukan tanpa alasan Hasna tertarik untuk datang ke acara tersebut. Ia ingin lebih dekat dan lebih jauh mengenal calon suaminya itu.
Namun, di pertengahan jalan menuju hotel tempat di mana acara lelang itu berlangsung. Tidak pernah Hasna duga, ia akan mendapatkan telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dengan sigap, Hasna langsung menjawab telepon itu sembari masih mengendarai mobilnya—menyetir dengan tangan kanan saja.
“Halo, asalamualaikum.” Hasna menempelkan ponselnya di telinga dengan tangan kiri.
“Walaikumsalam. Hasna ini Nayya,” sahut Nayya dengan suara yang serak.
Mendengar suara Nayya yang seperti itu, Hasna langsung menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. Sepertinya ada hal mendesak. “Iya, Nay? Ada apa?”
“Maaf menganggumu, Hasna. Apa mungkin Mas Farhan ada menghubungimu akhir-akhir ini?” tanya Nayya di seberang sana.
“Nggak ada. Mas Farhan nggak pernah menghubungiku lagi. Memangnya kenapa, Nay?” Kini giliran Hasna balik bertanya.
Terdengar samar isak tangis Nayya yang ditahan. “Mas Farhan sudah dua hari nggak pulang ke rumah. Di kantornya juga dia izin cuti.”
Hasna kaget bukan kepalang. “Astagfirullah. Kamu sudah menghubungi orang tuanya? Atau coba tanya Isti?”
Terdengar helaan napas panjang. “Aku nggak berani tanya ke mereka. Mas Farhan melarangku menghubungi keluarganya.”
“Tetapi, kan, keadaannya mendesak, Nayya. Kalau mau lapor polisi pun sudah bisa. Soalnya sudah lebih dari 24 jam.” Hasna mendadak kalut.
“Kamu bisa tolong coba bantu hubungi Mas Farhan? Setiap kali aku coba telepon dan kirim pesan nggak pernah dijawabnya.”
“Aku?” Hasna mengulangi ucapan Nayya.
”Tolong aku, Hasna.” Suara Nayya benar-benar terdengar lirih. Membangkitkan rasa iba dalam diri Hasna.
Hasna memejamkan mata. Menimang-nimang. “Ba—baiklah.”
“Terima kasih, Hasna. Kalau sudah ada kabar tolong hubungi aku segera, ya. Sekali lagi terima kasih, Hasna. Maaf merepotkanmu.”
“I—iya, Nayya. Kalau ada kabar dari Mas Farhan. Aku akan segera menghubungimu.” Kata-kata itu meluncur dengan susah payah melewati tenggorokan Hasna.
Ah ... kenapa ia tidak bisa lepas begitu saja dari hal-hal yang berkaitan dengan Farhan?
***
Setelah sampai di hotel yang dituju, Hasna langsung memarkirkan mobilnya. Kemudian masuk ke dalam hotel menuju aula yang berada di lantai satu. Mudah saja menemukan sosok Raafi yang tengah berbincang dengan beberapa orang bersetelan jas. Sepertinya mereka adalah orang penting.
Langkah Hasna yang sebelumnya begitu bersemangat menuju ke arah Raafi. Tiba-tiba terasa berat kala mendapati sosok Shinta yang lebih dulu menghampiri Raafi. Hasna berusaha berpikir positif, barangkali ipar Raafi itu hanya sekadar mampir. Namun, apa daya, kedua bola mata Hasna tidak bisa seolah-olah tidak melihat keakraban yang terjalin di antara mereka berdua.
Dengan gerakan luwes Shinta memeluk lengan kanan Raafi. Hasna yang berdiri membelakangi mereka berdua hanya bisa diam terpaku. Dalam hitungan detik berikutnya, pelukan itu lepas. Raafi membalikkan badan dan tersenyum lebar mendapati keberadaan Hasna. Buru-buru Raafi meminta izin meninggalkan teman berbincangnya dan berjalan menuju Hasna.
“Kamu baru sampai?” tanya Raafi kemudian.
Hasna menganguk pelan. Suasana hatinya kembali tidak bersahabat. “Acaranya berjalan lancar?”
“Alhamdullilah, acaranya berjalan lancar. Mau keliling lihat isi pameran?” ajak Raafi. Tidak bisa dibohongi betapa bahagianya setiap kali pria itu memandangi wajah Hasna.
Shinta yang juga menyadari keberadaan Hasna berjalan mendekat ke arah mereka. Sebisa mungkin Hasna menyunggingkan senyum manis.
“Mbak Shinta ada di sini juga?” tanya Hasna basa-basi.
Shinta mengibas rambutnya perlahan. “Iya, aku dari pagi menemani Raafi di sini.”
Hasna benar-benar dibuat bingung dengan sikap Shinta yang seperti menganggapnya seorang musuh.
“Mas Randy belum pulang dari luar kota?” tanya Hasna mencoba mencari bahan obrolan.
“Akhir bulan. Katanya dia akan pulang akhir bulan. Dan berarti Mas Randy tidak akan datang di acara pernikahan kalian berdua.” Shinta tersenyum tipis. Lebih ke arah mengejek.
Hasna menanggapi ucapan Shinta hanya dengan angukan kecil.
Raafi tersenyum canggung pada Hasna. “Ayo Hasna.”
“Aku ikut,” sela Shinta dengan nada manja.