Perempuan berkulit putih itu masih setia duduk di atas tempat tidurnya. Memeluk erat kedua lutut yang menjadi sandaran kepalanya. Hasna tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang menyelimutinya. Ia masih tidak percaya dengan kejutan-kejutan yang didapatkannya hari ini. Farhan akan segera menikah. Pria yang tidak bosan disebut namanya kala menghadap Sang Pencipta. Apakah ini adalah jawaban atas doa-doanya selama ini?
Sudah lama Hasna menaruh hati pada Farhan. Bertahun-tahun ia menyimpan rahasia itu dalam diam. Bahkan dari sahabatnya sendiri. Ia terlalu takut untuk mengutarakan perasaannya. Selama masih bisa menjalin hubungan baik dengan Farhan. Itu sudah membuatnya merasa sangat bersyukur. Kini ada sedikit rasa sesal yang tertanam di dalam hatinya. Kenapa ia tidak mengakui perasaannya sejak awal?
Masih segar dalam ingatan kala pertemuan pertamanya dengan Farhan. Semuanya berawal pada hari pertama ia dan Isti masuk SMA. Keduanya langsung akrab dan merasa cocok untuk berteman baik. Selain itu, mereka berdua juga satu kelompok saat menjalani MOS. Plus berakhir menjadi teman sebangku selama tiga tahun berturut-turut. Mereka berdua bagaikan sepasang sepatu. Di mana ada Hasna, di sampingnya pasti ada Isti. Jika tidak ada salah satu, mereka akan merasa tidak berarti.
Hasna tidak tahu jikalau Isti mempunyai saudara yang bersekolah sama dengan mereka. Yang ternyata merupakan kakak kelas tingkat akhir. Isti sendiri tidak pernah menceritakan keberadaan saudaranya itu. Pada suatu hari yang sangat memalukan. Hasna mendapati Isti dan Farhan pergi dan pulang sekolah bersama. Biasanya Isti selalu diantar jemput oleh sopirnya. Dengan polosnya Hasna mengira keduanya mempunyai hubungan spesial. Dan alangkah jengahnya saat mendapati fakta bahwa keduanya adalah saudara kandung.
Setiap kali membayangkan kejadian itu. Akan selalu ada semburat merah yang menghiasi pipinya. Mempunyai seorang sahabat seperti Isti merupakan kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Sebab, perempuan itu adalah saksi perjalanan hijrahnya dimulai. Isti yang lebih dulu menggunakan hijab menjadi inspirasi bagi Hasna untuk mengikuti jejak sahabatnya itu. Sejenak ... ia bisa melupakan kesedihannya yang tidak benar-benar sirna. Terdengar lirih suara Hasna mengucapkan istighfar berulang kali alih-alih menenangkan dirinya.
Jam delapan malam. Sudah lebih dari dua jam ia bergelut dengan keterpurukan. Tidak sepantasnya ia terus-menerus menghujani dirinya sendiri dengan rasa sesal. Ia mengusap sisa air mata di pipi dengan punggung tangan.
Hasna beranjak dari tempat tidur. Berjalan ke arah meja belajar berwarna putih di sudut kamarnya. Duduk di atas kursi sambil menghela napas panjang. Perempuan itu mengambil novel yang bertengger manis di rak buku minimalis di hadapannya. Mencoba mengalihkan sejenak pikirannya. Akan tetapi, semakin ia berusaha mengalihkan pikirannya. Semakin ia merasa tenggelam semakin dalam.
Apakah memang rasanya menyakitkan seperti ini? Saat kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita? Hasna bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Wanita baya mengetuk pelan pintu kamar Hasna. “Hasna. Kamu belum tidur, kan?”
Mendengar suara bundanya. Hasna langsung menjawab panggilan itu dan buru-buru merapikan rambutnya. “Iya, Bunda. Masuk saja. Pintunya nggak aku kunci.”
Terdengar suara derit saat pintu itu terbuka perlahan. Hasna menoleh dan mendapati bundanya membawa piring yang di isi potongan kecil buah-buahan. Ada apel, anggur, semangka, jeruk, pisang, dan buah naga.
Buru-buru Hasna bangun dari posisinya dan mengambil alih piring tersebut. “Bunda kok repot-repot, sih? Kalau aku mau, aku bisa buat sendiri.”